Brownies vs Tape Goreng

Standar

” It was so good. The Brownies. ” Matanya terpejam sambil membayangkan ketika dia melahap kue yang tadi pagi kita beli di sebuah resto itu.

” You didn’t left me any? “

“Nope – I thought you have your tape goreng ” aksen westernya masih kental ketika mengucapkan tape goreng.

” Yep, I’m fine with my tape – you eat your brownies baby “

Lalu kita tersenyum bersama.

“Ah, my tape goreng girl ” peluknya erat.

Kami pasangan berbeda bangsa, meski sudah hidup di lingkungan yang hampir serba western. Kejawaan saya masih sangat kental. Saya masih bingung kalau tidak makan nasi 2 hari, masih celingukan nyari bakso dan emoh dijejali makanan western yang merajalela di setiap restoran.

Bahkan pria ini bilang bahwa ia tahu bagaimana menjagaku tetap disampingnya. Give her Nasi! Konon dia mendapatkannya dari sebuah artikel di sebuah web. 10 rules dating Javanese girl. And one of them is just give her nasi, and she will happy. Hahaha, aku tertawa keras, memang. Benar. Saya tidak bisa tidak makan nasi.

Toh, meski kami berbeda bangsa dan budaya, kami berusaha untuk tetap seirama sejalan. Meski kami masih saja ledek-ledekan tentang banyak hal, tentang negaranya yang adikuasa dan berkode +1 untuk line telepon, tentang bagaimana memasak spageti dan masalah rasis di bumi nusantara ini terhadap orang asing, mostly westerner yang lebih sering kita sebut bule.

Pernah kami akan liburan di sebuah tempat dan saya menelpon untuk reservasi hotel. Mereka bertanya, siapa yang akan menginap.

“Saya yang akan menginap “

“Hanya Ibu saja?”

“Well, saya akan mengajak kekasih saya”

“Tamu?” Masyarakat Bali menyebut bule atau orang asing dengan sebutan ‘tamu’

“Iya”

“E, harga untuk tamu lain Bu, kami akan charge $25 lebih banyak “

“Kenapa?”

“Karena harga bule berbeda dengan harga lokal”

“Bapak, saya yang membayar untuk hotel ini, saya bekerja dan dia tidak”

“Tetap bu, harga tamu beda”

Kemudian setelah aku mengemasi semua kata-kata ku, dan menyerah dengan harga bule yang beda dengan harga lokal itu, kami, aku dan kekasihku melanjutkan berdebat.

“Negaramu rasis, kalian membedakan harga bule dan harga lokal. Coba bayangkan bila kamu menginap di Amerika dan hargamu lebih mahal dari harga orang chinese, atau harga orang lokal, kau pasti protes !”

“Tapi…”

Tapi perdebatan demi perdebatan masih saja terus berlanjut, dan kami melakukannya atas nama komunikasi dan atas nama diskusi.

Beberapa hal kadang membuat saya malas karena dia ‘tamu’ dan saya tuan rumah barangkali. Misal saja ketika kami akan mencari rumah baru, dia hanya ‘mengirim’ saya untuk mencari. Alasannya? Tentu saja masalah harga. Dia yakin harganya akan dinaikkan ketika kulit pucatnya itu nongol. Dan sebaliknya, mereka akan berbaik hati ketika aku yang berkulit cokelat ini yang berkeringat mencari rumah.

Nah, repot kan?

Namun, hampir dari semua perdebatan, saya bersyukur, karena kami disatukan atas nama perbedaan. Kami sama sekali berbeda. Kadang-kadang saya kecut ketika dia tidak suka A dan menyukai B. Sementara saya tergila-gila dengan A dan alergi B. Mungkin memang ini bukan cinta anak SMA yang hampir semua bisa disamakan.

Namun, sugesti, masih saja lekat dalam otak orang-orang. Misal ketika kita makan di sebuah restoran dan meminta bill – waiters akan langsung memberikan bill kepada sang ‘tamu’ bukan kepada saya.
Atau malam itu ketika kami makan malam dan memesan bir dan air putih. Waiter yang datang langsung menaruk bir di depan orang kulit putih yang kekasihku ini, dan menyerahkan sebotol air putih di depanku.

“Mbak, kebalik” aku tersenyum

“Aku yang memesan bir dan dia air putih”

“Iya, Aku air putih saja …” laki-laki ini mencoba mengucapkan bahasa Indonesianya dengan baik.

“oh. maap.. saya kira” wanita berumur 20-an ini tersipu malu dan merubah pesanan kami.

Banyak orang salah mengira kan ya?

— January 2013

 

 

 

 

Satu tanggapan »

Tinggalkan komentar