Travel more – the further you go, the more you can learn.

Standar

That’s what written in one of the souvenir I bought In Penang. Yes, I think I couldn’t agree more about that. Travel more – no matter you go, you’ll learn a LOT, like a lot.

Sebuah catatan, 4 days in George Town.

Bermula dari pekerjaan yang menculikku selama berbulan-bulan. Pekerjaan yang 90% harus aku handle sendiri ini membuat aku harus menutup mata pada kesenangan pribadi. Ya, pekerjaanku memang juga berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, namun jelas ini untuk bekerja. Aku belajar banyak juga – but hey, why don’t you travel alone ? It’ll be fun!

Dan begitulah – aku kemudian memesan tiket ke sebuah tempat yang tidak begitu jauh dan juga sangat menggoda untuk tahun baru. Dan tentu saja dengan satu alasan yang execuse yang tidak bisa ditandingi. Liburan! Work hard – travel hard.

Ya, sesederhana itu sebenarnya, kamu hanya butuh lebih banyak mengunjungi banyak tempat, mengenali budaya mereka dan enjoy. Secara otomatis itu akan membuat kamu belajar banyak pula tentang hidupmu sendiri. Well, for me that’s true.

Travel and learn more… you should.

Banyak pembelajaran yang kamu dapatkan dengan berkelana sendiri.

Pertama, tentu saja kamu belajar bertanggung-jawab terhadap dirimu sendiri. Kemanapun kamu pergi, kamu harus tahu apa yang kamu lakukan, kamu dituntut untuk bisa membawa dirimu sendiri di public yang kamu tidak tahu siapa, kamu dituntut untuk bergaul dengan siapa saja yang mungkin kamu temui di jalan.

Don’t trust no one.

Disini kamu dilatih untuk belajar insting. Kamu berlatih untuk belajar mempercayai dirimu sendiri dan bilang tidak pada orang lain. Iya gak sih ?

Pasti akan ada banyak godaan di jalan, seperti tawaran ke kuil ini, naik taksi ini dan banyak hal, namun kamu dituntut untuk bisa memutuskan apa yang kamu ingin lakukan, tidak menunggu keputusan dari yang lain. Beda dengan travel berdua misalnya, kalian pasti harus bersepakat sebelum menuju satu tempat atau melakukan sesuatu, namun menjadi solo traveler kamu dapat privilege tambahan untuk bisa mandiri, memutuskan semua sendiri, namun semua resiko juga ditanggung sendiri, dan bila kamu sudah tahu apa yang kamu lakukan, kebanyakan keputusan yang kamu ambil pasti menguntungkan dirimu atau bisa membuat hari-harimu menjadi lebih bahagia, yes ?

Ah, tentu saja saya tidak ada apa-apanya dengan banyak traveler yang sudah keliling dunia. Saya masih di lingkup Asia saja yang bahkan ada beberapa Negara masih berbahasa Melayu. Bayangkan bila kamu berada di satu tempat dimana kamu tidak begitu mengenal bahasanya – well, that’s why language is important here. Kamu dituntut belajar lagi.

Semalam saya tiba di Penang, di pantai barat laut semenanjung Malaysia, kota utamanya George Town-lah yang membawa saya kesini. Kota berpenduduk sekitar 1,6 juta ini didiami oleh beberapa etnis, etnis China, Melayu dan Tamil ( India ) namun konon yang terendah prosentasenya untuk penduduk muslim dan melayu di Malaysia namun golongan ekspatriat tertinggi.

Well, okay. Apa yang saya lakukan disini ? Sepertinya saya punya ide yang sangat cemerlang. Saya tidak hanya berlibur sebagai tourist, tentu saja saya mengunjungi banyak tempat rekreasi yang terkenal dikunjungi wisatawan. Namun saya juga menikmati hidup saya disini. Baru saja saya mengendarai sepeda saya ke city hall yang terletak di pinggir pantai … menemukan sebuah tempat yang sangat tepat untuk duduk dan menulis. Dan saya pun memulai untuk menjadi saya sendiri – dan tebak, saya sangat bahagia.

Beberapa hal yang harus lebih diperhatikan ketika travel : 

1)    Count the currency comparing to IDR or USD – so you’re not gonna make mistake again to pull cash from ATM or whatever you might do. Like do shopping, you have to count it first. Like today, I pull cash 1500 RM = IDR 4.500.000 – that’s quite a lot money to carry and considering that you’ll go around. So, I think the lesson is have enough money, not more not less.

2)    See around no driver. You should find it yourself, have someone to show around sometimes is not make you learn anything. With go by yourself, you will find the direction.

3)    Enjoy every moment that you can. Be a good friend with your insting, that’s the most important.

4)    Hang around with Local, they know what’s the truth about the place rather than the guide ( ha! )

5)    Try to speak the native language and you can be more ‘involved’.

Sangat mengejutkan ketika banyak etnis disini dan dikumpulkan dalam jarak yang sangat dekat. Bayangkan saja, di area heritage George town ini – saya menemukan ada “ Pinang Peranakan Mansion” yang notabene adalah mansion leluhur melayu jaman dulu sangat berdekatan dengan Little India dimana komunitas India berkumpul, dari mulai street food – hingga tempat sembahyang – tak jauh dari situ, suara adzan berkumandang. Dan Masjid yang megah berdiri. Sungguh suatu komunitas yang tidak bisa saya bayangkan sebelumnya. Apakah ini benar seperti terlihat secara harafiah atau bila ditelusuri lebih lanjut mungkin akan mendapatkan cerita yang berbeda. 

 

–       Bangunan Tua dan Mural.

Dunno why – but I like this one a lot. Kreatif sekali – dan padanan mural dengan batu bata yang sudah tua dan keropos sepertinya cocok sekali. Dan sepertinya aku merasa ‘cocok’ di daerah ini. Dibutuhkan 3 hari untukku hunting mural dari semua yang sudah dibuat. Ini beberapa contoh-nya. 

 

Agak kesulitan ketika kamu tidak punya panduan, dan ketika kamu cuman berjibaku di jalan paling happening di George town yaitu Armenian Street. Mural kakak beradik bersepeda yang seakan menjadi ikon menjadi daya tarik tersendiri di jalan ini. Beberapa shop souvenir, Mehndi, tattoo ala India  dan juga berbagai jajanan membuat hampir seluruh turis tumpek bleg disini.

 

 

Setidaknya apa yang saya lakukan waktu itu sangatlah pas. Menginap di agak luar wilayah yang dinobatkan UNESCO sebagai heritage site di jl. Phuan Lim Leong sekitar 8 menit dengan sepeda, saya senang sekali.

Ok. Sebentar, saya beberkan pelan-pelan tentang kota ini. Bila Anda melihat peta, kota George Town – ibukota dari Penang ini, alamat saya agak berada di luar wilayah, namun tidak begitu jauh. Dari awal saya memang mencari tempat yang bukan hotel, alasan utama tentu saja budget, lalu kemudian saya berpikir saya ingin bertemu orang local dan berteman, mengorek banyak hal dari mereka. Saya tidak ingin menjadi turis yang pulang ke hotel lalu tidur.

Lalu akhirnya saya menemukan sebuah tempat dari hasil mencari di trip advisor, sebuah penginapan, sebuah rumah tepatnya bernama Old Penang House. Dari sana saya melihat foto dan juga detail yang menyertai, dan saya rasa pas sekali dengan apa yang saya mau. Hanya dengan 60 Ringgit semalam, atau sekitar 180 rupiah + 10 ringgit (30.000 rupiah )/hari untuk menyewa sepeda, saya mendapatkan apa yang saya mau! Dan rasanya.. Bahagia! Semesta.. serius lo!

Setiap hari saya mengkayuh sepeda gayung saya ke George Town yang hanya membutuhkan waktu 8 menit – dengan medan yang datar. Easy, easy!

 

 

Di Penang, banyak mobil mahal dan mereka drive so fast, too fast I think. Kita harus berhati-hati, sangat berhati-hati, khususnya di daerah kota. Bila sudah masuk ke George Town, sepertinya mereka agak pelan. Banyak Jl. Sehala ( yang awalnya saya piker nama jalan ) ternyata adalah jalan satu arah alias one way. Namun yang pasti, bagi yang suka travel dan olahraga, bike is the only and smart choice! Saya hanya tinggal mencari tiang kokoh untuk parkir dan mengunci sepeda – dimana sangat, sangat mudah mendapatkan di seluruh jalan di GT dan kemudian jalan kaki untuk lebih explore.

Saya tinggal 5 hari di Penang, dan buat saya cukup untuk kunjungan pertama. Saya tidak terburu-buru dan menyusun semua jadwal untuk melihat semua tempat. Hampir setiap hari saya berangkat jam 9-10 pagi dan hampir tidak punya rencana, paling hanya punya satu tujuan dalam satu hari, sisanya adalah spontaneous, and trust me, spontaneous makes you alive! Makes you happier and happier! I’m really happy with what I achieve these 5 days in penang, dengan semua spontanitas yang saya lakukan. Meski terkadang panas terik, saya berteman baik dengan insting saya – ketika saya melihat sesuatu yang bagus dan ingin berhenti. Saya berhenti. Hasilnya ? saya punya banyak teman baik di George Town maupun di luar. Saya diajak main ceki oleh Bapak-bapak ( mungkin satu banjar ), berkenalan dengan gadis chinese penang yang membuka bisnis café di ujung jalan ( and very nice! ) berteman dengan beberapa penjual souvenir dan membuat terpesona seorang supir taksi. Haha! Dia khawatir sekali saya jalan malam-malam sendiri dan travel sendiri. Like – wow! What the hell are you doing here girl!

Beberapa malam makan di pusat jajan di daerah GT dan bertemu traveller yang lain dan berteman. Seorang British yang sudah kali kelima ke Penang, seorang Bapak dan putri cantik berumur 10 tahun yang travel ke SEA selama 3 bulan dan seorang mempesona bertatoo yang hanya melempar senyum, mengangkat gelas birnya lalu pergi. Ketemu lagi di ujung jalan ketika aku bersepeda, memanggilku halo dengan kerasnya! Hahaha.. lalu kulebarkan senyumku and I said.. see u around – and left! God, I wish I stop and ask him for a drink. Hahaha..

Penang street food! OMG! Don’t ask me, it’s amazing! You can just be happy to see the food, see the anthusiasm how local people eat with family and friends and gathering every evening, dimsum, bakpao, nasi kandar, kwetiau… everything looks yummy and it is yummy!  Saya mengundang David Roso kesini untuk street food. Ok, what else.

 

Pintu dan jendela. Kota ini penuh sekali dengan pintu dan jendela. Saya memotret banyak sekali pintu dan jendela, dan terkadang berhenti dan berbelok hanya untuk mengambil gambar dan memandanginya. Cantik dan colorful!

Saya bisa membuat satu edisi hanya untuk mengulas tentang pintu dan jendela. Sungguh, bagi saya kota ini punya charisma tersendiri, mungkin bagian dari saya juga dulu pernah disini, entah – yang pasti kedatangan pertama membuat saya banyak berjanji pada banyak orang dan pada diri sendiri kalau saya akan kembali.

Sun Yat Sen – Peranakan Mansion – dan banyak Peninggalan 

Penang dengan komunitas chinese melayu-nya yang terkenal, dan ada di hampir seluruh jalan di George menyimpan dua cerita, Sun Yat Sen, seorang revolusiner China dan juga Peranakan atau bisa disebut sebagai nyonyah. Dua ini punya sebuah museum yang turis bisa datang kapan saja. Ketika saya mengunjungi Peranakan Mansion House, ditarik tiket 20 Ringgit, sekitar 80 ribu, banyak pengunjung yang sepertinya lebih lapar mengambil gambar daripada mengetahui apa yang sebenarnya terjadi disana. Hari berikutnya saya mengunjungi Based Sun Yat Sen dan ditarik tiket 5 Ringgit, dan .. tidak ada orang selain saya. Saya masuk dengan percaya diri, tersenyum dan memang sekalian saja masuk. Seorang laki-laki yang akhirnya saya ketahui bernama Ken memperkenalkan diri dan kemudian menjadi ‘guide’ saya dan bercerita banyak. Saya hanya mengerti 60% dari apa yang dia bicarakan, secara maaf saja, Inggris aksen chinese-nya itu saya kurang mengerti, namun karena saya gak enak selalu bilang, ‘pardon me’ akhirnya saya mengangguk-angguk saja dan juga bilang OK.. dan berhasrat tahu lebih banyak tentang Dr ganteng ini.

Akhirnya, saya terlalu betah di tempat ini. Satu jam sendiri dengan Ken, bertanya banyak hal, bercanda, dari mulai ngomong ttg subjet utama yaitu Dr Sun Yat sen, sampai ke shio lalu tentang senyum, aura, hingga keluarga. Akhirnya saya malah ditawarin foto-foto, dia yang mengambil gambarnya. Aksen chinanya begini.

“ Ok, ready… three, two .. one.. excellent! Look it first please..”

Ah, Ken! Lovely to meet you.

Little India

Komunitas India agak kurang ramah, well, ada juga pasti yang membalas senyum, namun cukup jarang. Namun setelah kita terlalu ramah, mereka juga pasti akan membalas obrolan J basically Little India pastinya sangat colorful dan meriah! Bagi saya lampu-lampu dan merah, hijau biru semua baju dan toko yang menjual aksesoris sangat menarik ditambah dengan music India yang mereka stel keras-keras. Little India, kurang lebih sama dengan yang ada di Singapore.

Transportation

Rapid penang, sebuah bus yang bisa anda pakai selama di penang, saya tidak ingin menulis seperti tour guide, but take this bus will be fun too and cheaper. Kira-kira 2 ringgit per jalan dari George Town ke Batu Feringgi misalnya – atau less than 1 ringgit untuk di dalam kota. Ada pula free shuttle khusus untuk turis – nah yang ini saya belum mencoba nih, saya cuman lihat aja brosurnya di map saya yang bejibun banyaknya, ha!

Taxi, well, ini cukup mahal buat saya, sekali jalan bisa 40 Ringgit, sekitar 120 ribu. Pilihan saya tetap sepeda!

Beach – Batu feringgi

Sepertinya setiap traveler selalu menanyakan ini. Dimana Pantai terdekat ? Seberapa jauh, seakan-akan sebuah kota kehilangan daya tariknya bila tidak mempunyai pantai yang layak dikunjungi. Penang punya Batu feringgi, buat saya yang tinggal di Bali, tempat ini sudah sangat touristic dan tidak terlalu menarik buat saya, paling yang menarik adalah bahwa banyak local berkunjung kesana ( dan saya suka di banding dengan banyak turis ) dan juga olahraga paralayang yang cukup digemari disana, Saya hampir mencobanya, namun karena saya travel sendiri dan cukup cemas dimana menyimpan tas saya yang berisi passport dan uang, dan dompet berisi ID lain.. 

So, ya, next time if I come with another person – for sure I will try it, it looks fun! So fun!

Bottom line, first trial – Mission acomplish. Berhasil. Satu yang tidak berhasil yaitu : belanja. Masih saja lapar mata dan belanja. 

Next travel and trial will be informed soon. Haaa! 

January sudah mau habis. 

2014.

 

Kiki dan Pelangi, Riwayatmu Kini….

Standar
 image[5]
Gambar ini sama sekali tidak cute.
Jangan terkecoh dengan betapa ‘adorable’ nya mereka. Mustinya pertanyaan pertama ketika kita melihat gambar ini adalah, kenapa mereka ada di gerobak sorong. Bukankah mereka seharusnya ada di Alam liar – what the hell are they doing here..?

It’s all our mistake. YES, it is.
Bayi-bayi orangutan ini mustinya tidak jadi yatim piatu dan masuk kandang setiap sorenya. Mereka harusnya bergelantungan di alam liar, mereka tidak seharusnya minum susu dari dot dan digendong mesra layaknya bayi oleh manusia.

Kemana Ibu mereka …?

Mati.

Kenapa ?

Dibunuh.

Kenapa ? Karena mereka harus menyingkirkan semua yang ada di dalam hutan ketika para pengusaha besar memperkerjakan orang-orang dengan gergaji mesin dan maju untuk menggunduli hutan.

Kenapa menggunduli hutan? Karena mereka perlu kelapa sawit. Dalam minyak goreng yang kita gunakan tiap hari, di komestik yang bikin anda kinyis-kinyis, dalam snack yang anak-anak kita komsumsi tiap hari.

Loh, apa iya ?
100% iya.

Para orangutan ini kehilangan habitatnya. Lari kesana-sini mencari ‘rumah yang baru’ dan berakhir ketemu manusia.
Kalau tidak sih, saya yakin 100% mereka ogah ketemu kita. Mereka berusaha menghindari manusia.
Kenapa ? Tentu saja!
Pertama mereka pasti sudah mendengar rumour bahwa Manusia itu serakah, mereka emoh ketemu manusia yang konon gen-nya kurang lebih 97% sama dengan mereka.
Kedua, karena mereka tidak ingin dicap ‘imut’ lalu dimasukkan kandang selama bertahun-tahun hingga mereka LUPA. Lupa untuk tahu bagaimana caranya bergelayutan dari satu pohon ke pohon lain, lupa untuk tahu bagaimana enaknya buah-buahan segar di hutan. Mereka lupa untuk tahu bahwa habitat mereka adalah di alam liar.

KIKI
Sebut Kiki, 9-10 tahun.
Kiki baru saja diselamatkan oleh Tim International Animal Rescue di Kalimantan Barat, Pontianak. sabtu 05 Oktober 2013 lalu. Ketika kami datang, ‘pemiliknya’ mengklaim bahwa Kiki berusia 13 tahun. Dr Hewan yang menangani tidak yakin karena kiki begitu kecil dan malnutrisi untuk usia 13 tahun.
image
Lalu opini itu keluar dari si Bapak pemilik rumah :
“Kiki ini seperti manusia, dia makan nasi goreng, minum kopi, krupuk dan bakso”
Well, he’s not. He’s not human, he’s primate non human.
Kalaupun dia menganggap orangutan bernama Kiki ini manusia, kenapa di dikandangkan selama 13 tahun ? Akankah dia berbuat seperti itu pada anaknya? jelas TIDAK.

Orang-orang ini SALAH KAPRAH.
Mereka pikir mereka sudah berbuat benar dengan memelihara Kiki selama bertahun-tahun dan membuatnya seperti manusia.
Bagaimana jadi bila nanti dia mendapat kesempatan dilepaskan di hutan ? Memang akan ada yang jualan nasi di tengah hutan? menyediakan kopi hangat dan semangkok bakso ketika hujan lebat?

Kami kemudian melihatnya sebagai kesedihan.
Meski proses rescue ini berjalan mulus dan keluarga pemilik mau melepas dengan rela Kiki. Kami miris. Kami prihatin.
Kiki diambil paksa dari Ibunya ketika berusia beberapa bulan dan langsung masuk kandang.
Let say it has been 10 years, dia di’kandang’kan. Kami 100% yakin dia tidak tahu bagaimana caranya naik pohon dan berayun dari satu dahan dari dahan lain.
Saya dan crew membicarakan ini dalam perjalanan pulang. Bagaimana shocknya Kiki setelah 10 tahun hanya mendekam di kandang bau dan kotor itu, kemudian tiba-tiba dikerumuni orang asing, dinaikkan ke dalam pick up dan menempuh 2 jam di jalanan rusak dan 8 jam ferry ?

image[1]
Dia pasti berpikir
“Mau dibawa kemana pula aku ini …?”
Bahkan kami berseroloh. Jangan-jangan dia akan menangis sedih, karena opini dia selama ini salah, bahwa dia adalah mahluk satu-satunya yang berbulu, berwarna cokelat kemerahan dan mempunyai tangan lebih panjang dari kakinya. Dia akan shock bila tiba di pusat rehabilitasi dan melihat akan banyak mahluk seperti dia. BANYAK.
PELANGI
Pelangi, 1 tahun mungkin lebih beruntung dari Kiki. Pelangi ditemukan tim rescue ketika dia masih belum genap setahun. Katakan dia memang tidak tahu bagaimana caranya berayun-ayun. Namun sekarang dia menjadi seorang pemberani – hampir setiap hari di pusat nursery, Pelangi menjadi bintang karena kelincahannya berayun-ayun.
image[7]
Dan percayalah ada banyak kasus yang lebih menyedihkan dari Pelangi dan Kiki. Banyak. dan Anda tidak akan mempercayainya manusia bisa berbuat seperti ini demi sebuah kelapa sawit. Damn palm oil!

Yayasan International Animan Rescue yang berada di Ketapang Kalimantan Barat ini sudah berusaha keras untuk menyelamatkan banyak orangutan, dan mengembalikan kembali mereka ke habitatnya.
Mereka kadang sedih, karena semakin banyak orangutan yang datang. Mereka sukses karena menyelamatkan banyak orangutan, namun bila boleh memilih tentu saja mereka tidak ingin menyelamatkan orangutan.
Ada satu adegan yang terekam kamera kami. Bayi orangutan berusia kira-kira 8 bulan mendekap erat Dr Hewan di pusat rehabilitasi.
Kami bertanya, apakah dia merasa senang orangutan ini bergantung padanya. Perempuan hebat ini berkata tidak, dia miris karena seharusnya bayi kecil ini digendong ibunya, menyusu dan bersenang-senang di hutan.

image[3]

Saya sedih, saya bingung, saya tidak tahu harus bagaimana.
Saya hanya mengambil beberapa gambar mereka dan pulang ke rumah untuk menulis ini. Semoga untuk saat ini, tulisan ini cukup untuk bisa berbagi dengan kalian, siapa tahu kalian ingin lebih banyak tahu dan berusaha bersama menyelamatkan mereka.

Siapa tahu….

Ubud
09 Oktober 2013

Caci Maki

Standar

CaciMaki saja diriku..

Begitu kono sebuah lirik lagu terkenal ketika saya masih kuliah. Sudah lama tidak mendengarnya, dan kemudian mendadak seminggu yang lalu aku membacanya dari status seorang teman di jejaring sosial. Kurang lebih sama dengan apa yang aku rasakan – mencaci maki diri sendiri ketika sudah lama sekali. LAMAAAA sekali, sungguh terlalu lama untuk tidak menulis.

Betapa bandelnya aku, masuk ke dalam jurang bernama kemalasan dan berteman dengan keacuhan. Sangat tidak bijakasana dan sangat tidak menguntungkan bagi saya dan bagi saya. Sungguh apa yang bisa membuat saya duduk diam dan menulis – apapun yang ada di benak. Sunggu sangat sederhana.

Tengok saja kalender di blog ini. Mungkin terakhir kali aku menuliskan sesuatu adalah Tahun lalu! Doh! Kemana saja saya selama ini, kemana saja semua yang dulu saya bawa atas nama semangat dan atas nama kecintaan. Tertinggal entah  b di ranselnya, atau mungkin saja saya lupa saya taruk di loker mana waktu itu. Kehilangan kuncinya dan memilih untuk tidak peduli. Ya, memilih untuk tidak membahasnya, di saat lingkungan sekitar menulis, berkreatif, membuat banyak hal dan menghasilkan banyak hal. Tidak hanya materi, namun banyak untuk kepentingan Jiwa – aku masih saja memaki diri sendiri. Masih – persis seperti tahun lalu.

tidak pergi kemana-mana kan ?

Namun, masih beruntung kemudian ketika beberapa tulisan saya seperti hidup dan tiba-tiba nongol di screen saver saya – meminta di konfirmasi untuk di save ulang, semacam melambai-lambai untuk di sentuh kembali. Bukan hanya untuk ditengok sebentar dan kemudian ditutup lagi. Sungguh! mereka ingin disetubuhi, mereka ingin diluruhkan menjadi satu denganku.

Lupakan semua jejaring sosial yang ada. Mungkin sebaiknya aku menyepi dan ‘ngumpet’ beberapa saat. Bukan untuk apa-apa, namun untuk bisa melakukan sesuatu itu, menghasilkan sesuatu yang bisa saya banggakan, saya edarkan, dinikmati teman-teman sejagad. dikomentari, di caci maki.

Dan bukankan dunia ini bulat, semua yang diatas akan kembali ke bawah, dan yang di bawah beranjak ke atas. Kita hanya bersiap-siap traveling, menuju ke atas atau turun ke bawah. Sama-sama sebuah perjalanan.

Hubud.

June 7th 2013

Baiknya bagaimana…

Standar

Baiknya bagaimana, baiknya menyerah saja disini. Pulang dan tidak mendapat apa-apa.

Baiknya kamu mengemasi barang-barangmu dan menyimpan semua berkas ke dalam kardus. Lupakan semua pekerjaan yang telah kamu lakukan selama beberapa tahun ini, dan juga sudah lupakan bahwa kamu pernah meraih ini dan itu.

Lupakan. Kau kan sudah menyerah. Menyerah kalah. Jadi sudah, tidak ada yang perlu ditimbang lagi. Harus sudah menyerah segala-galanya. Mungkin memang itu sudah ada di darahmu sejak lahir. Mundur teratur dan melupakan semuanya.

Namun – masih ada yang masih menunggu untuk bertemu.

Masihkah ?

Brownies vs Tape Goreng

Standar

” It was so good. The Brownies. ” Matanya terpejam sambil membayangkan ketika dia melahap kue yang tadi pagi kita beli di sebuah resto itu.

” You didn’t left me any? “

“Nope – I thought you have your tape goreng ” aksen westernya masih kental ketika mengucapkan tape goreng.

” Yep, I’m fine with my tape – you eat your brownies baby “

Lalu kita tersenyum bersama.

“Ah, my tape goreng girl ” peluknya erat.

Kami pasangan berbeda bangsa, meski sudah hidup di lingkungan yang hampir serba western. Kejawaan saya masih sangat kental. Saya masih bingung kalau tidak makan nasi 2 hari, masih celingukan nyari bakso dan emoh dijejali makanan western yang merajalela di setiap restoran.

Bahkan pria ini bilang bahwa ia tahu bagaimana menjagaku tetap disampingnya. Give her Nasi! Konon dia mendapatkannya dari sebuah artikel di sebuah web. 10 rules dating Javanese girl. And one of them is just give her nasi, and she will happy. Hahaha, aku tertawa keras, memang. Benar. Saya tidak bisa tidak makan nasi.

Toh, meski kami berbeda bangsa dan budaya, kami berusaha untuk tetap seirama sejalan. Meski kami masih saja ledek-ledekan tentang banyak hal, tentang negaranya yang adikuasa dan berkode +1 untuk line telepon, tentang bagaimana memasak spageti dan masalah rasis di bumi nusantara ini terhadap orang asing, mostly westerner yang lebih sering kita sebut bule.

Pernah kami akan liburan di sebuah tempat dan saya menelpon untuk reservasi hotel. Mereka bertanya, siapa yang akan menginap.

“Saya yang akan menginap “

“Hanya Ibu saja?”

“Well, saya akan mengajak kekasih saya”

“Tamu?” Masyarakat Bali menyebut bule atau orang asing dengan sebutan ‘tamu’

“Iya”

“E, harga untuk tamu lain Bu, kami akan charge $25 lebih banyak “

“Kenapa?”

“Karena harga bule berbeda dengan harga lokal”

“Bapak, saya yang membayar untuk hotel ini, saya bekerja dan dia tidak”

“Tetap bu, harga tamu beda”

Kemudian setelah aku mengemasi semua kata-kata ku, dan menyerah dengan harga bule yang beda dengan harga lokal itu, kami, aku dan kekasihku melanjutkan berdebat.

“Negaramu rasis, kalian membedakan harga bule dan harga lokal. Coba bayangkan bila kamu menginap di Amerika dan hargamu lebih mahal dari harga orang chinese, atau harga orang lokal, kau pasti protes !”

“Tapi…”

Tapi perdebatan demi perdebatan masih saja terus berlanjut, dan kami melakukannya atas nama komunikasi dan atas nama diskusi.

Beberapa hal kadang membuat saya malas karena dia ‘tamu’ dan saya tuan rumah barangkali. Misal saja ketika kami akan mencari rumah baru, dia hanya ‘mengirim’ saya untuk mencari. Alasannya? Tentu saja masalah harga. Dia yakin harganya akan dinaikkan ketika kulit pucatnya itu nongol. Dan sebaliknya, mereka akan berbaik hati ketika aku yang berkulit cokelat ini yang berkeringat mencari rumah.

Nah, repot kan?

Namun, hampir dari semua perdebatan, saya bersyukur, karena kami disatukan atas nama perbedaan. Kami sama sekali berbeda. Kadang-kadang saya kecut ketika dia tidak suka A dan menyukai B. Sementara saya tergila-gila dengan A dan alergi B. Mungkin memang ini bukan cinta anak SMA yang hampir semua bisa disamakan.

Namun, sugesti, masih saja lekat dalam otak orang-orang. Misal ketika kita makan di sebuah restoran dan meminta bill – waiters akan langsung memberikan bill kepada sang ‘tamu’ bukan kepada saya.
Atau malam itu ketika kami makan malam dan memesan bir dan air putih. Waiter yang datang langsung menaruk bir di depan orang kulit putih yang kekasihku ini, dan menyerahkan sebotol air putih di depanku.

“Mbak, kebalik” aku tersenyum

“Aku yang memesan bir dan dia air putih”

“Iya, Aku air putih saja …” laki-laki ini mencoba mengucapkan bahasa Indonesianya dengan baik.

“oh. maap.. saya kira” wanita berumur 20-an ini tersipu malu dan merubah pesanan kami.

Banyak orang salah mengira kan ya?

— January 2013

 

 

 

 

Menunggu sebuah vonis – beri aku hadiah natal…

Standar

I’m not feeling very loving right now.
That’s what he said when i ask for a hug after the confession this evening.
I cheat on him.
Yes i did
i lie to him – i still text my ex boyfriend while i’m with him.

dan aku seperti menanti hukuman mati.
pria yang mengagung – agungkan cinta sejati dan kejujuran ini tiba-tiba tidak ingin menyentuhku ketika tahu bahwa aku membohonginya.
Iya, aku, aku membohonginya…

Aku seperti tahanan kelas kakap yang sedang menanti vonis – sidang korupsi yang kemudian memeperlihatkan semua kebohonganku.
aku pikir aku memang pantas dihukum. aku pikir aku memang pantas di buang ke negeri seberang. aku memang pantas mendapat hukuman seberat-beratnya. Aku pantas di vonis seberat-beratnya, mengingat pria sejati ini adalah pria yang benar-benar mencintaiku dan benar-benar ingin aku mencintainya.

Aku memang harus tinggal menunggu ketok palu.
Aku memang harus tinggal menunggu hukuman apa yang akan diberikan padaku,
Sejuta senjata yang sudah kuserahkan pada nya adalah sia-sia. hanya tinggal menunggu kemurahan hatinya.
Aku yang memang sangat ‘ndeso’ dalam hal berhubungan – sangat bodoh dalam menjaga hubungan. gadis yang tidak tahu apa-apa tentang bagaimana menjaga hubungan.

Aku tahu memang ini terserah padanya, aku tahu ini terserah bagaimana dia mengambil keputusan. Aku sudah mengaku salah- dan aku ingin memperbaiki diri, semua gadis ingin memperbaiki diri untuk kekasihnya, semuanya memang harus terjadi. Kejujuran yang memang paling harus menjadi no 1 dalam sebuah hubungan.

Mungkin bila dia meninggalkanku aku akan mengingatnya sebagai sosok sejati seorang pahlawan cinta yang menjunjung tinggi rasa tanggung jawab penuh terhadap kejujuran.
Sementara pria yang kuagung-agungkan kucintai adalah pria yang sudah mempunyai pasangan disana, dan tak berani sejengkalpun untuk beranjak dari tempatnya berada.

This is so sad.
So sad, hanya itu yang dia bisa katakan. dan berkali-kali aku menangis tak keruan. berkali-kali aku memeluknya, mencoba memberi pembelaan dan bermacam-macam hal lainnya. tak mempan.
Semuanya mental begitu saja.

dan ketika lampu dimatikan, aku semakin yakin hukuman mati akan segera diberikan.
Hukuman yang memang seharusnya kudapatkan, aku memang harus mendapatkannya. Seperti Shinta dihukum 13 tahun dalam cengkerama rahwana dan masih harus diragukan lagi kesetiannya terhadap Rama suaminya setelah kembali, seprti itulah aku kemudian.
Tidak berusaha untuk complain, tapi aku mengerti apa yang aku memnag harus dapatan dari pria berprinsip ini.
Aku memang harus mendapatkannya, aku memang harus mengalaminya.
Nanti di sebuah titik, aku akan menengok ke belakang dan berterimakasih – betapa aku ( dan semoga dia) membutuhkan ini berdua, untuk membuktikan memang kita dan terutama aku memang benar-benar menyukainya, seperti aku menyukai kembang api waktu kecil, atau seperti anak kecil tempo hari di gereja yang menyukai permen karet.

bayangkan, aku berbohong pada semua, dan inilah kiranya yang patut kudapatkan, vonis pembohong yang tidak dapat dipercaya. sementara pria ini mati-matian datang dari jauh untuk menemuiku, hanya untukku, hanya untuk diriku. dan aku menyia-nyiakannya begitu saja.

entah apa yang akan terjadi dalam beberapa menit, entah apa yang akan terjadi dalam bebreapa jam, esok pagi dan sebagainya.
laki-laki baik yang bisa menjagaku seumur hidupku – akan hilang begitu saja.
apa yang harus kulakukan, apa yang harus kulakukan, apa yang harus kulakukan, apa yang harus kulakukan, apa yang harus kulakykan, apa yang harus kulakukan.

tiba-tiba semuanya berputar dan berputar.
dan aku masuk dalam sebuah labirin tak berkesudahan.

aku berdiri di ujung ranjang dan melihatnya berusaha tidur tak keruan.

“Kau berjanji memberikan aku hadiah natal kan?” tanyaku polos
“Iya.. kau mau?”
“yes please… gimme second chance”

dan kemudian lampu dimatikan – atau memang sudah gelap dari tadi. Aku tidak sadar.

Sebuah email, Kamu dan New York.

Standar

9 bulan lalu, itu tepatnya.

Aku masih ingat ketika 3 hari itu aku sama sekali tidak bisa tidur menantimu datang. Sabtu itu kita bicara dan kau bilang akan datang untuk Ulang tahunmu.
Tak terbayangkan bagaimana aku tidak bisa memanage hatiku sendiri. Bersorak kegirangan dan tak keruan. Hatiku meloncat kemana-mana.

Dan bulan Desember itu kuulang -ulang terus dalam memoriku, karena kau tidak lagi datang..

Kau tidak lagi datang hingga 9 bulan. Hanya surat elektronikmu yang menyapaku, itu pun semakin hari semakin berkurang..

Tiba tiba kau menghilang dan aku kemudian bertanya “where are you?”

Itu kali pertama aku bertanya bahkan. Dimana kamu… sebelumnya aku menyerahkan sepenuhnya hidupmu padamu. Aku tidak ingin bertanya dimana kamu.. Dan ketika beberapa hari kemudian aku mendapatkan jawabannya, aku berhenti disebuah titik.

“I’m in New York – baby.on hols”

On holiday! oh my god. Who is this guy….

I don’t know him anymore.. is he the same guy with the guy who I adore so much? Who say good morning and good night every single night? Who worried about me and always ask .. Are you ok sweetie?

I don’t know him anymore, it’s not him.. I’m afraid New York telah menelan bulat-bulat laki-laki yang kupuja itu. New York has gobbled you up, and left me nothing. Nothing…

Lalu, malam ini kejadian itu terulang kembali. Kau memastikan bahwa tiket pesawat udaramu itu akan datang 3 hari lagi. Membawamu kesini lagi, ke tempat dimana kita bertemu. Aku membacanya tengah malam tadi, ketika hendak tidur. Aku membacanya dengan gemetar dan tidak tahu harus bagaimana. Aku tidak tahu harus memilih antara bahagia karena aku bisa melihatmu lagi atau aku harus mengingat bahwa kau orang yang berbeda sekarang. 9 bulan sayang, 270 hari berlalu, dan sejujurnya aku tidak yakin kau masih orang yang sama.

Atau aku takut aku sudah bukan orang yang sama…

Aku sudah menyadari sesuatu, aku sudah berusaha jujur pada diriku sendiri. Bahwa laki-laki ini tidak mencintaiku. Laki-laki ini tidak menginginkanku lebih dari aku menginginkannya…

Sepertinya nanti ketika wajah itu kulihat lagi, aku patut untuk bertanya.

What life means to you? What you want from this life?

Aku takut jawabanmu tidak cukup memuaskan ku – aku takut pria baru yang tiba-tiba datang itu mempunyai jawaban yang lebih masuk akal di kepalaku, di hidupku, untuk masa depanku, untuk semua yang berhubungan denganku.

Nah, sekarang hanya butuh sebuah pembuktian. ketika kau berdiri disana dan memandangku, ketika aku juga memandangmu dan tersenyum. Apa yang sebenarnya terjadi antara aku dan kamu.

— masih saja bertanya untuk apa kita bertemu ?

 

 

Dan lagi, sebuah cerita dari Timor

Standar

Day #2
Day 4 filming.

Sepertinya, isu perbatasan masih menjadi isu hangat hari ini. Bagaimana tidak – hari ini seluruh peserta mountain bike ini melewati perbatasan darat Indonesia – Timor Leste.
Pagi itu kita disambut dengan tulisan welcome to Indonesia. Rasanya sangat aneh sebagai orang Indonesia dan memasuki perbatasan negara sendiri. Serasa kita orang asing yang masuk kembali ke ‘rumah’ setelah sekian lama pergi.

Kesan pertama? tentu saja kami senang, karena jalanan di Indonesia mulus sekali, diaspal bagus! sangat, hampir tanpa cela. Hingga ke perbatasan kembali masuk ke Timur Timor. Yep dan ironisnya kembali, saya terpaksa harus menaikkan kaca mobil karena debu tebal yang diakibatkan jalanan rusak tak keruan di daerah timor timor.

Well, aku yakin tidak seharafiah itu sih. Tidak bisa kemudian disimpulkan bahwa Indonesia lebih tertata daripada East Timor. Toh, Timor adalah anak bawang yang baru merdeka 13 tahun, sementara Indonesia sudah menginjak usia ke 67 bulan lalu. Ini kan kemudian seperti membandingkan orang tua dengan anak muda yang baru beranjak dewasa.
Masuk ke Wilayah Indonesia di Nusa Tenggara Timur – cukup mulus, plus dengan jalannya juga. Menempuh 91 km, hampir separonya adalah melewati wilayah Indonesia. Hampir saja kami belok ke Atambua, namun kemudian kami terus lurus menuju Oekussi, sebuah district di perbatasan Indonesia – Timor Leste.

Kami berhenti di sebuah tempat di pinggir pantai, pantai makasar. Konon katanya ada banyak nelayan yang menjual hasil ikan mereka disini, namun hingga hari kedua disini, kami belum menemukannya.

Tidak begitu fokus dengan race yang sedang terjadi, aku yang memiliki kurang lebih banyak waktu luang, lebih senang jalan-jalan mengenal lingkungan.
Baru saja sampai, aku sudah berteman dengan ‘tetangga’ sebelah. Seorang Ibu muda yang ramah dan menyapa dari tempat duduk dia dan keluarga santai sore itu. Dengan gerak cepat aku menyapa balik dan segera mengarahkan kakiku ke rumah itu. Rumah sederhana agak modern, bertembok sudah – namun di belakang masih ada beberapa rumah tradisional yang menyertai. Agak gersang untuk ukuran rumah normal, meski Ibu Dina sudah berusaha untuk menanam beberapa pot tanaman – namun warna hijau yang keluar dari daun-daun itu masih kurang banyak dibanding dengan tanah di sekitar rumahnya yang cukup luas.
Namun keramahan tentu saja lebih penting dari sekedar tanaman berwarna hijau. Maka kami berbincang dan sharing banyak hal.
Tau-tau, malam itu kami sudah mendirikan tenda di halaman rumahnya. Bahkan tidak meminta ijin! hahaha.. well, memang sebelumnya kami memang sempat membicarakan tentang hal itu, beliau menawarkan untuk kami tinggal di dalam rumah.
Namun aku dan beberapa teman media lainnya, merasa bahwa rumah penduduk yang diberikan, adalah rumah normal yang tidak menarik dan tidak menantang.. Hahah… Toh, kami membawa tenda dan hammock – yang sangat pas berpasangan dengan rumah penduduk di Oekusi ini.

yep, dan hari kedua racing ini ditutup dengan bergantungan di hammock dengan bintang yang dengan seenaknya bertebaran di sana. tempat tidur gantung ini sangat pas dengan angin semilir, bintang, malam dan kecapean. Untungnya aku cukup bijaksana untuk pindah ke tenda untuk tidur yang sebenarnya karena menjelang pagi, udara dingin akan menusuk.

Hari ke tiga tidak akan banyak yang kuperbuat, karena kami akan tetap tinggal di tempat yang sama, sementara para pembalap sepeda gunung ini melintasi medan keras selama beberapa jam.

Aku gunakan kemudian waktu luang itu untuk memuaskan kehidupan pribadiku. Sebuah pesan masuk dengan kata penuh cinta.
Dan butuh apa lagi aku ini… ?

S

Sebuah foto , sebuah cerita.

Standar

Sebuah foto – persisnya akan mengulang kembali sejarah dimana foto itu diambil. Bila anda jeli, Anda akan bisa melihat apakah foto itu memang menggambarkan kejadian yang sebenarnya atau tidak.

Dulu – seorang pernah berkata bahwa Ia lebih suka video daripada foto, karena video bergerak, hidup, sementara foto itu mati – kamu mematikan sebuah waktu, seperti membuat freeze sebuah kejadian, mematoknya dalam sebuah gambar dan kemudian kamu bisa melihatnya seumur hidupmu.

Dulu juga – dalam sebuah masa ketika sebuah kamera harus memakan waktu beberapa waktu untuk sebuah peristiwa sampai orang-orang yang terlibat di dalamnya bisa melihat hasilnya. Jauh sebelum sepersekian detik setelah bunyi klik itu terdengar dan kamu bisa melihat dimana letak kesalahan peristiwa itu. Entah bila ada yang matanya terpejam – rambutnya berantakan, posisi kurang di tengah atau apapun yang di jaman serba bisa ini, 2 detik setelah kau jepret, seseorang bisa saja langsung berteriak. Sekali lagi dong!

Sekarang, tentu saja dunia berubah – begitu cepat terkadang.
Sakit hati karena dosen fotography di semester pertama dulu dengan seenaknya mencoret hasil cetak foto kita yang perlu biaya mahal bagiku mencetaknya sudah tidak menjadi soal bagi mahasiswa jaman sekarang.
Kamera digital – membuatnya semua menjadi semakin mudah. Kamu bisa melihat hasil jepretannya sepersekian detik setelah foto itu diambil. Kamu bisa mengulangnya beratus kali dengan adegan yang sama, kamu bisa merubah pose dan melihat dimana letak kesalahannya.
You can do anything, but one – you can’t fake what you do with your picture.
Either way you looks happy or not – deep inside, just you who can see what’s really going on with your photo.

Kesimpulan pendek – meski sebuah fotomu tersenyum lebar dengan penuh warna warni. Orang melihatmu bahagia – namun bila kau sendiri ingat bahwa itu tidak, jawabannya tetap tidak.

Sebaliknya misalnya, bila kau terlihat berantakan dan not in really good condition, but if you say that the best moment, that would be your best moment.

Iya, memang hanya kamu sendiri yang bisa menjelaskan sebuah peristiwa yang terekam dalam sebuah foto.
Sebuah foto menjelaskan semua peristiwa di dalamnya – terkadang lebih dalam daripada sebuah video.

Nah – lalu kenapa saya bertele-tele bicara masalah sebuah foto.
Saya sedang melankolis ! tentu saja. Apalagi yang bisa membuatmu menulis bila tidak sedang melankonlis.
Weekend ini – dimana sms bertubi-tubi datang dan menanyakan apa yang akan kau lakukan instead of just sit on your desk and writing. Sayangnya, pilihan kedua itulah yang aku lakukan.
Setelah puas menonton sebuah seri comedy besutan ollywood ( sorry – still good with the comedy series) , hati yang gelisah dan sebuah layar word yang sudah sangat rindu ingin dicumbu. Akhirnya kita jadian malam ini – setelah hampir 2,5 bulan sama sekali tidak menulis. ( baca : melankolis )

Mari kembali ke sebuah foto.
Konon, saya sedang membahas sebuah – e, mungkin 2 buah foto yang kupunya. Kupandang beberapa hari ini belakangan, diam-diam. Kupandang dua orang di dalamnya, berpakaian hampir sama, celana pendek warna abu-abu dan t-shirt putih bergaris.
Kau memelukku dengan erat dan tersenyum. Aku condong ke pelukanmu, memelukmu dari belakang dan tersenyum. Yang istimewa adalah – aku pikir ini adalah foto pertamaku yang membuatku sangat bahagia. All these years.

Bukan, bukan foto ketika impianku menjadi crew sebuah tim elit luar negeri. Berfoto bersama presenter terkenal atau berada di sebuah remote area dengan suku terasing disana. Bukan.
Foto ini bersamamu – dalam sebuah makan malam sederhana bermenu pizza dan beer.
Foto sederhana sekaligus klise inilah yang membuatku bahagia mati-matian.
Tak bosan-bosannya aku memandangnya dan bangga sekali. Aku melihat  bahwa aku bahagia melihatku bahagia disana. Di pelukanmu malam itu.

Kau? kau tersenyum dan memandang tepat ke kamera. Namun pelukan erat yang merengkuhku sudah menjelaskan semuanya. Menjelaskan apa yang terjadi malam itu, atau malam-malam sebelumnya.
Foto kedua, masih sama – dengan tangan kirimu memegang kamera dan mengarahkannya pada kita berdua yang tersenyum bahagia. tangan kananmu merengkuhku dari belakang. Aku bersandar di pundakmu dan memberikan senyuman tertulus yang kupunya. 2 orang bahagia malam itu. Hampir setahun yang lalu.

Dan sudah seharusnya aku harus berterimakasih pada foto itu – karena foto itulah yang membuatku kuat beberapa bulan terakhir. Kuat untuk tetap teguh pada pendirianku bahwa ini patut diperjuangkan. Seberapapun godaan datang dan orang-orang datang mencemooh. Aku yakin sayang, kamu masih orang yang sama dengan orang yang kupandang di foto itu.

Orang yang bertanya padaku hampir setiap hari. How’s my day – what for weekend, semua pertanyaan sederhana yang sanggup dilemparkan pria sederhana yang kupuja.

Aku pikir aku perlu berhenti disini – karena foto itu masih saja tersenyum bahagia, bahkan ketika kau memandangnya di tengah malam yang lapar, atau pagi yang cerah. Atau di weekend yang membosankan, atau di penantian panjangmu setiap sore.

Foto itu masih akan tetap terlihat sebagai 2 orang yang bahagia, bahkan nanti ketika akhirnya aku akan melihat pria di foto itu berdiri nyata di depanku, dan memberikan senyuman yang persis sama dengan yang kupandang di foto itu.

Atau katakanlah, foto itu juga akan terlihat persis sama, 2 orang berpelukan dengan bahagia, meski mereka tidak akan tahu kapan akan bertemu lagi.
Aku tidak perduli, karena aku hanya perduli foto itu. Ketika aku melihatmu memelukku bahagia – sungguh aku belajar menerima bahwa itu saja cukup. Bukankah begitu sederhana bahagia itu.

Membeli keterlambatan.

Standar
by Shinta Oktania Retnani on Monday, May 28, 2012 at 12:44am ·

Di mobil menuju ke bandara, perempuan yang kuanggap sahabat itu mengatakan bahwa aku baru saja membeli sebuah keterlambatan.

Aku mengiyakan, yup.

That’s what am doing now, and i know exactly  the risk.

I know what i’ll be deal with at the airport.

Somehow, I enjoy a bit of that.

 

Bagaimana tidak.

Di Bandara aku justru mendapatkan waktu dimana aku bisa menulis dan menikmati diri sendiri.

Aku merasa bahwa dengan terlambat 30-1 jam, seperti yang baru saja kudengar, aku mendapatkan bonus untuk mendengarkan musik kesenangan, duduk diantara orang asing, dengan hal yang baru, menikmati mereka sekaligus menikmati diri sendiri.

komplit! So that’s it, dengan ticket murah yang kubeli, aku mendapat privilage tambahan dari hal-hal yang kusebutkan tadi.

 

Ini menarik, sangat menarik.

Ruang tunggu yang tadinya kosong ketika aku datang, lambat laun penuh dengan manusia. Dari berbagai gaya dan jenis kelamin.

Beberapa wanita bersepatu tinggi, tas kelap-kelip, make up tebal hingga yang hanya membawa sebuah ransel dan bersendal jepit.

Kita bisa menemui business man yang memakai jas, lengkap dengan sepatu mengkilapnya. Di sudut yang lain, satu keluarga, lengkap dengan nenek dan cucu pertama yang digadang-gadang menjadi penerus keturunan mereka. Hampir semua ada disini, duduk saja di ruang tunggu beberapa menit, di depan pintu dan kemudian kamu bisa lihat beragam manusia Indonesia.

 

Dengan tas cokelat kulit palsu yang mengkilap, louis vitton dari tanah abang, polo shirt dengan logo nya yang segede gaban.

Ada. Ada semua disini.

 

Ini ternyata yang menarik, ini ternyata yang dibawah sadar ingin kulakukan, yang membuatku membeli tiket dari airline yang disebut Jakarta Post  sebagai “rapidly expanding boutique airline ” ketimbang membeli tiket penerbangan nomor satu di Indonesia.

 

 

Anehnya, kami semua penumpang tahu bahwa airline berlambang singa ini akan selalu delay, namun karena harganya yang murah sehingga akses kemana-mana bisa didapat, kami tetap membelinya. berulang-ulang.

 

Apa sebenarnya masalah mereka? Apa sebenarnya yang menjadi kendala bila di setiap penerbangan yang kulakukan, mereka selalu 90% delay. And i knew it already.

Seribu alasan yang mereka berikan pun akan selalu beragam dan berulang. Saya cukup hafal, dan saya tahu pola ini akan selalu tetap dipakai berulang-ulang. Seakan kami para penumpang tidak tahu, dan tidak menyadarinya.

 

Sebuah pesan elektronik baru saja masuk, mengingatkan ..

“Just be careful which carrier you choose! Don’t always go for the cheapest!”

Dan saya tahu itu benar seratus persen. Apa artinya lebih murah beberapa ratus ribu namun Anda akan kehilangan waktu yang berharga dan kehilangan banyak hal bisa saja Anda dapatkan bila anda tidak terlambat.

Toh, seperti yang kukatakan tadi diatas, maskapai ini tetap laris manis dibeli orang, setiap hari bandara penuh dan orang menenteng tas kemana-mana.

Orang seakan menganggap ini sebagai sebuah kewajaran. Menganggap bahwa ini adalah sebuah bagian dari yang akan mereka terima dengan membeli tiket ini. Meski kita juga akan komplain dan bersungut-sungut di ruang tunggu, menggebrak meja dan lain sebagainya.

 

Why we go with the cheapest?

Nah, semua orang juga tahu bahwa semua orang senang dengan membeli sesuatu yang murah. Tidak banyak yang mau membeli sebuah barang mahal.

Padahal, bila Anda pernah menonton adegan film ( Cher dan Nicolas Cage ) The Moonstruck, ada sebuah dialog menarik :

 

” You spent money, coz you save money…”

Anda akan mengeluarkan uang lebih banyak, karena anda akan menabung lebih banyak.

Dulu, ketika uang masih menjadi issue utama dalam hidup saya, Murah tentu saja menjadi pilihan utama.

Sekarang, setelah tahu bahwa dengan mengeluarkan uang sedikit lebih banyak, kita akan mendapatkan barang yang lebih bagus secara kualitas, dan akan menghemat uang dikedepannya.

Bayangkan bila Anda membeli t-shirt 10.000 yang kemudian robek setelah 2 bulan. Sementara dengan membeli seharga 50.000, akan awet setahun.

Bila Anda cukup pintar, tentu saja 50.000 yang dipilih, namun  bila Murah menjadi tagline utama, membeli kaos 10.000 pasti akan sangat membanggakan.

Dalam kasus penerbangan ini, tentu saja keselamatan juga menjadi hal yang tidak bisa dikesampingkan. Yang utama bahkan, dan umpama membeli t-shirt mahal adalah membeli kualitas, membeli tiket mahal adalah patokan keselamatan. Ini kita sedang bicara Indonesia, yang lagi-lagi menurut Jakarta Post adalah

 

” … one of Asia’s most rapidly expanding airline markets, but the country is struggling to provide qualified pilots, mechanics, air traffic controllers and updated airport technology to ensure safer. And with so many new, small carriers, it’s hard to monitor all their standards…”

 

Mari kembali pada masalah membeli keterlambatan. Wajah baru di Indonesia? tentu saja tidak.

Nah, tapi kenapa kemudian ini menjadi seperti komidi putar yang diulang-ulang, namun semua orang masih saja membeli tiketnya dan menikmatinya?

 

Saya ulangi, menikmatinya? termasuk saya.

Well, kalau boleh membela diri, seperti yang saya kemukakan di atas, saya melakukannya dibawah sadar karena saya menikmati situasi ini, dan saya seperti membeli sebuah tema untuk sebuah tulisan. Selalu ada yang bisa saya tulis di sebuah keterlambatan. Sebuah jeda dimana aku bisa bebas melakukan apa saja yang tidak bisa kulakukan di rutinitas hari-hariku.

 

Bayangkan bila saya membeli tiket dari penerbangan yang tepat waktu, maka saya tidak punya waktu untuk menikmati musik di headphone, menulis sebuah artikel sambil duduk selonjor di ruang tunggu ini.

Mahal! tidak banyak orang punya kesempatan untuk melakukannya.

Tidak semua mau membeli sebuah keterlambatan hanya untuk hal semacam ini!

 

Nah, saya bisa cerita apa pada laki-laki pujaanku itu, bila nyatanya, saya masih saja ndablek dan membeli tiket murahan ini.

He’s not gonna believe me that i’m still fly with this airline.

I mean, you know. I suppose to be smart enough to not doin the same like I used to be.

 

Dan benar, sore ini ketika aku akan pulang dari kunjungan kerja di Ibukota, kami mengalami sedikit chaos.

Chaos yang baru saja kutinggalkan di dalam ruang tunggu, dan  masih saja ramai.

Berawal dari seorang Pria yang dari aksennya aku yakin berasal dari Sumatra. Selain aksen tentu saja aku bisa mengenali dari keberaniannya. No offense, namun orang Jawa memang kebanyakan nrimo.

Yo wis, mungkin memang harus delay, harus terlambat, Oalahhhh… terlambat kok setiap penerbangan, terlambat kok sehari bisa di setiap gate. Ini mah kebiasaan buruk.

Dengar saja keluhan Pria ini, yang mengatakan bahwa dia sudah ‘hadir’ di bandara satu jam sebelumnya.

Saya sudah mematuhi semua peraturan yang ada, namun kenapa saya yang selalu dirugikan. Bila nanti pada saatnya saya yang terlambat, mana mau pesawat menunggu saya..

Hayo! Suaranya yang keras sambil mengacung-acungkan tiketnya memang kemudian menjadi pusat perhatian satu ruangan.

Dan Anda! ” Sambil menunjuk seorang staff penerbangan

Anda!”

Anda yang seharusnya memberitahukan semua penumpang bahwa Anda terlambat, sama sekali tidak melakukannya.

Saya tidak tahu kalau terlambat, saya tidak tahu kalau tiba-tiba pindah gate, saya tidak tahu kalau..

Ini penerbangan semu! Logat Sumatra nya sangat kental menggaung.

 

Ini sangat mengasyikkan. Saya yang sedang bermood baik sangat menikmatinya ketimbang ikut bergabung bersama mereka bersungut-sungut. Spontan semua  yang berada di ruangan tersebut akhirnya chaos dan ramai. Kita saling bertanya dan saling menguatkan satu sama lain, bahwa penerbangan ini tidak bisa seenaknya terlambat di setiap penerbangan. Semua kemudian menjadi satu keluarga yang saling mensupport satu sama lain dan mengiyakan semua keluhan yang keluar.

Wanita di sebelah saya tiba-tiba bertanya.

Mbak  ke Denpasar juga?  dapat tiket berapa?

Aku mengangguk dan menyebut angka yang cukup murah.

Sama, saya juga mendapat harga yang kurang lebih sama.

Tahu-tahu mulutku kemudian tak bisa dihentikan dari argumentasi yang sudah kusiapkan sedari tadi.

Saya tahu resikonya, dengan membeli tiket murah ini, bahwa saya akan terlambat beberapa jam dan saya berusaha konsisten dengan menikmati segala keterlambatan ini.

Saya tahu saya akan berada di posisi ini. Terlambat sekian menit, sekian jam terkadang.

 

” Lalu kenapa Anda masih tetap membeli tiket  maskapai penerbangan ini?” Pria yang sedari tadi mendengarkan percakapan kita bertanya.

” Karena saya …. menikmatinya. ”  dengan wajah polos kujawab pertanyaan itu.

 

Sedetik kemudian semua orang yang mendengar jawabanku memandang dengan bengis, seolah saya adalah virus yang harus dibasmi.

 

“Menikmatinya…”

Good answer Shin, like they will agree with you instead of look cynical and hate you for the rest of their life.

Menikmatinya…