Monthly Archives: Mei 2012

Membeli keterlambatan.

Standar
by Shinta Oktania Retnani on Monday, May 28, 2012 at 12:44am ·

Di mobil menuju ke bandara, perempuan yang kuanggap sahabat itu mengatakan bahwa aku baru saja membeli sebuah keterlambatan.

Aku mengiyakan, yup.

That’s what am doing now, and i know exactly  the risk.

I know what i’ll be deal with at the airport.

Somehow, I enjoy a bit of that.

 

Bagaimana tidak.

Di Bandara aku justru mendapatkan waktu dimana aku bisa menulis dan menikmati diri sendiri.

Aku merasa bahwa dengan terlambat 30-1 jam, seperti yang baru saja kudengar, aku mendapatkan bonus untuk mendengarkan musik kesenangan, duduk diantara orang asing, dengan hal yang baru, menikmati mereka sekaligus menikmati diri sendiri.

komplit! So that’s it, dengan ticket murah yang kubeli, aku mendapat privilage tambahan dari hal-hal yang kusebutkan tadi.

 

Ini menarik, sangat menarik.

Ruang tunggu yang tadinya kosong ketika aku datang, lambat laun penuh dengan manusia. Dari berbagai gaya dan jenis kelamin.

Beberapa wanita bersepatu tinggi, tas kelap-kelip, make up tebal hingga yang hanya membawa sebuah ransel dan bersendal jepit.

Kita bisa menemui business man yang memakai jas, lengkap dengan sepatu mengkilapnya. Di sudut yang lain, satu keluarga, lengkap dengan nenek dan cucu pertama yang digadang-gadang menjadi penerus keturunan mereka. Hampir semua ada disini, duduk saja di ruang tunggu beberapa menit, di depan pintu dan kemudian kamu bisa lihat beragam manusia Indonesia.

 

Dengan tas cokelat kulit palsu yang mengkilap, louis vitton dari tanah abang, polo shirt dengan logo nya yang segede gaban.

Ada. Ada semua disini.

 

Ini ternyata yang menarik, ini ternyata yang dibawah sadar ingin kulakukan, yang membuatku membeli tiket dari airline yang disebut Jakarta Post  sebagai “rapidly expanding boutique airline ” ketimbang membeli tiket penerbangan nomor satu di Indonesia.

 

 

Anehnya, kami semua penumpang tahu bahwa airline berlambang singa ini akan selalu delay, namun karena harganya yang murah sehingga akses kemana-mana bisa didapat, kami tetap membelinya. berulang-ulang.

 

Apa sebenarnya masalah mereka? Apa sebenarnya yang menjadi kendala bila di setiap penerbangan yang kulakukan, mereka selalu 90% delay. And i knew it already.

Seribu alasan yang mereka berikan pun akan selalu beragam dan berulang. Saya cukup hafal, dan saya tahu pola ini akan selalu tetap dipakai berulang-ulang. Seakan kami para penumpang tidak tahu, dan tidak menyadarinya.

 

Sebuah pesan elektronik baru saja masuk, mengingatkan ..

“Just be careful which carrier you choose! Don’t always go for the cheapest!”

Dan saya tahu itu benar seratus persen. Apa artinya lebih murah beberapa ratus ribu namun Anda akan kehilangan waktu yang berharga dan kehilangan banyak hal bisa saja Anda dapatkan bila anda tidak terlambat.

Toh, seperti yang kukatakan tadi diatas, maskapai ini tetap laris manis dibeli orang, setiap hari bandara penuh dan orang menenteng tas kemana-mana.

Orang seakan menganggap ini sebagai sebuah kewajaran. Menganggap bahwa ini adalah sebuah bagian dari yang akan mereka terima dengan membeli tiket ini. Meski kita juga akan komplain dan bersungut-sungut di ruang tunggu, menggebrak meja dan lain sebagainya.

 

Why we go with the cheapest?

Nah, semua orang juga tahu bahwa semua orang senang dengan membeli sesuatu yang murah. Tidak banyak yang mau membeli sebuah barang mahal.

Padahal, bila Anda pernah menonton adegan film ( Cher dan Nicolas Cage ) The Moonstruck, ada sebuah dialog menarik :

 

” You spent money, coz you save money…”

Anda akan mengeluarkan uang lebih banyak, karena anda akan menabung lebih banyak.

Dulu, ketika uang masih menjadi issue utama dalam hidup saya, Murah tentu saja menjadi pilihan utama.

Sekarang, setelah tahu bahwa dengan mengeluarkan uang sedikit lebih banyak, kita akan mendapatkan barang yang lebih bagus secara kualitas, dan akan menghemat uang dikedepannya.

Bayangkan bila Anda membeli t-shirt 10.000 yang kemudian robek setelah 2 bulan. Sementara dengan membeli seharga 50.000, akan awet setahun.

Bila Anda cukup pintar, tentu saja 50.000 yang dipilih, namun  bila Murah menjadi tagline utama, membeli kaos 10.000 pasti akan sangat membanggakan.

Dalam kasus penerbangan ini, tentu saja keselamatan juga menjadi hal yang tidak bisa dikesampingkan. Yang utama bahkan, dan umpama membeli t-shirt mahal adalah membeli kualitas, membeli tiket mahal adalah patokan keselamatan. Ini kita sedang bicara Indonesia, yang lagi-lagi menurut Jakarta Post adalah

 

” … one of Asia’s most rapidly expanding airline markets, but the country is struggling to provide qualified pilots, mechanics, air traffic controllers and updated airport technology to ensure safer. And with so many new, small carriers, it’s hard to monitor all their standards…”

 

Mari kembali pada masalah membeli keterlambatan. Wajah baru di Indonesia? tentu saja tidak.

Nah, tapi kenapa kemudian ini menjadi seperti komidi putar yang diulang-ulang, namun semua orang masih saja membeli tiketnya dan menikmatinya?

 

Saya ulangi, menikmatinya? termasuk saya.

Well, kalau boleh membela diri, seperti yang saya kemukakan di atas, saya melakukannya dibawah sadar karena saya menikmati situasi ini, dan saya seperti membeli sebuah tema untuk sebuah tulisan. Selalu ada yang bisa saya tulis di sebuah keterlambatan. Sebuah jeda dimana aku bisa bebas melakukan apa saja yang tidak bisa kulakukan di rutinitas hari-hariku.

 

Bayangkan bila saya membeli tiket dari penerbangan yang tepat waktu, maka saya tidak punya waktu untuk menikmati musik di headphone, menulis sebuah artikel sambil duduk selonjor di ruang tunggu ini.

Mahal! tidak banyak orang punya kesempatan untuk melakukannya.

Tidak semua mau membeli sebuah keterlambatan hanya untuk hal semacam ini!

 

Nah, saya bisa cerita apa pada laki-laki pujaanku itu, bila nyatanya, saya masih saja ndablek dan membeli tiket murahan ini.

He’s not gonna believe me that i’m still fly with this airline.

I mean, you know. I suppose to be smart enough to not doin the same like I used to be.

 

Dan benar, sore ini ketika aku akan pulang dari kunjungan kerja di Ibukota, kami mengalami sedikit chaos.

Chaos yang baru saja kutinggalkan di dalam ruang tunggu, dan  masih saja ramai.

Berawal dari seorang Pria yang dari aksennya aku yakin berasal dari Sumatra. Selain aksen tentu saja aku bisa mengenali dari keberaniannya. No offense, namun orang Jawa memang kebanyakan nrimo.

Yo wis, mungkin memang harus delay, harus terlambat, Oalahhhh… terlambat kok setiap penerbangan, terlambat kok sehari bisa di setiap gate. Ini mah kebiasaan buruk.

Dengar saja keluhan Pria ini, yang mengatakan bahwa dia sudah ‘hadir’ di bandara satu jam sebelumnya.

Saya sudah mematuhi semua peraturan yang ada, namun kenapa saya yang selalu dirugikan. Bila nanti pada saatnya saya yang terlambat, mana mau pesawat menunggu saya..

Hayo! Suaranya yang keras sambil mengacung-acungkan tiketnya memang kemudian menjadi pusat perhatian satu ruangan.

Dan Anda! ” Sambil menunjuk seorang staff penerbangan

Anda!”

Anda yang seharusnya memberitahukan semua penumpang bahwa Anda terlambat, sama sekali tidak melakukannya.

Saya tidak tahu kalau terlambat, saya tidak tahu kalau tiba-tiba pindah gate, saya tidak tahu kalau..

Ini penerbangan semu! Logat Sumatra nya sangat kental menggaung.

 

Ini sangat mengasyikkan. Saya yang sedang bermood baik sangat menikmatinya ketimbang ikut bergabung bersama mereka bersungut-sungut. Spontan semua  yang berada di ruangan tersebut akhirnya chaos dan ramai. Kita saling bertanya dan saling menguatkan satu sama lain, bahwa penerbangan ini tidak bisa seenaknya terlambat di setiap penerbangan. Semua kemudian menjadi satu keluarga yang saling mensupport satu sama lain dan mengiyakan semua keluhan yang keluar.

Wanita di sebelah saya tiba-tiba bertanya.

Mbak  ke Denpasar juga?  dapat tiket berapa?

Aku mengangguk dan menyebut angka yang cukup murah.

Sama, saya juga mendapat harga yang kurang lebih sama.

Tahu-tahu mulutku kemudian tak bisa dihentikan dari argumentasi yang sudah kusiapkan sedari tadi.

Saya tahu resikonya, dengan membeli tiket murah ini, bahwa saya akan terlambat beberapa jam dan saya berusaha konsisten dengan menikmati segala keterlambatan ini.

Saya tahu saya akan berada di posisi ini. Terlambat sekian menit, sekian jam terkadang.

 

” Lalu kenapa Anda masih tetap membeli tiket  maskapai penerbangan ini?” Pria yang sedari tadi mendengarkan percakapan kita bertanya.

” Karena saya …. menikmatinya. ”  dengan wajah polos kujawab pertanyaan itu.

 

Sedetik kemudian semua orang yang mendengar jawabanku memandang dengan bengis, seolah saya adalah virus yang harus dibasmi.

 

“Menikmatinya…”

Good answer Shin, like they will agree with you instead of look cynical and hate you for the rest of their life.

Menikmatinya…

Ngrasani Indonesia

Standar
by Shinta Oktania Retnani on Friday, May 18, 2012 at 11:24pm ·

Seumpama Keluarga, Indonesia ini adalah keluarga ndablekkk.. Bandelnya setengah mati.

Gak disiplin.. Bangett!!!! Seumpama jadi tetangga. Indonesia ini paling nyebelin satu RT.

Kalau di Bali, paling gak disenengin satu Banjar.

Duhhh..

Bagaimana tidak, Anaknya Indonesia itu bandel-bandel.

Denger nih keluhan tetangga-tetangga satu Banjar / satu RT tentang Indonesia.

Sudah dibilang kalau buang sampah sembarangan itu tidak boleh. Orang dewasa, bahkan pakai baju adat, naik mobil pun, dengan seenaknya membuang sampah sembarangan.

Itu kejadian kemarin. Setelah parkir, pas persis di sebelah saya, seorang laki-laki membuang bungkus permen plastik ke luar jendela. Mobil itu dalam keadaan parkir, dan di depan ada tempat sampah. Dan laki-laki berbaju adat yang entah pulang dari upacara dimana ini, membuang begitu saja.

Saya menghampiri dan mengetuk jendela mobil yang sudah tertutup.

“Halo… tolong dibuka dong….” Aku dengan sangat pe-denya bicara.

Setelah kaca mobil dibuka, kalimat kulanjutkan.

“Maaf, di depan ada tempat sampah, Anda bisa buang disana, bukan disini. Malu dilihat anak kecil, dilihat anak bapak. sambil menunjuk anaknya yang duduk di jok belakang. Istri bapak juga pasti malu, sambil kulirik wanita yang duduk di sebelah”

Merasa sudah menyampaikan uneg-uneg, aku pergi, masuk ke dalam salon yang memang tujuan sebelumnya.

Dari balik kaca salon, aku sempat ( penasaran) melihat, bagaimana laki-laki ini bereaksi.

Ternyata tidak ada respon apa-apa.

Laki-laki ini tidak beranjak dari mobilnya, dan kata-kataku terbang bersama bayang-bayang.

Aku tersenyum.

Aku sudah mengatakan, dan dia sudah dewasa. Saya melanjutkan aktivitas di salon.

“halo cyinnn…. cream bath donggg…”

Hari ini, tetangga lain complain tentang Indonesia.

Masih perkara sepele. Soal tata tertib berlalu lintas. Dan Maaf, masih saja berbaju adat. Ini memang tidak ada hubungannya, namun saya tidak habis pikir lagi-lagi. Geram, mungkin kata yang tepat.

SMS di jalan, masih jadi favorit, pesan yang sangat penting itu masih harus ditulis di tengah jalan! Pas naik motor. HARUS BANGET, PENTING BANGET.

Apalagi kalau di Bali nih ya, pas di tanjakan, belokan tajam atau turunan. Itu mereka PASTI dan penting banget harus SMS. Melebihi sayang pada keluarga di rumah yang mungkin akan kehilangan mereka, apalagi kok bila menyinggung masalah displin. Ah, tidak ada tu di dalam kamus.

SMS tetap harus jalan, dimanapun. Penting banget ini.

Nah, yang ini konon jadi trending topic dunia.Twitter itu lo, di twitter.

Keluarga Indonesia sedang diomongin di arisan Ibu-Ibu satu RT bulan ini, gimana ngga.. masak Mbak Gaga itu dilarang main ke rumah Indonesia. Jangankan main, lewat wae ra intuk jarene.

Katanya sih Indonesia jijik, haram, takut. Mereka anti pati, takut anak-anaknya yang imut-imut itu terkena virus mba Gaga.

Duh, mereka ini freaking out sekali.

Alih-alih mendidik anaknya dengan memberitahukan bahwa mereka harus bisa menyerap mana yang baik dan benar. Mereka memilih untuk menutup mata dan telinga anak-anak ( yang imut-imut ) tadi itu.

Wahhhh… geger katanya. Pas Mbak Gaga lewat rumah Indonesia, korden di tutup, lampu dimatikan. Bahkan kata tetangga yang lainnya, mereka sempat nyipratin air kembang tujuh rupa ke halaman rumah mereka.

Jijik katanya. Takut ternodai.

Konon ini gara-gara Omnya keluarga Indonesia ini, yang ngomporin kalau mbak Gaga ini punya aliran setan.. Wahhduh, tuduhan berat ya… Yang aku tahu Mbak Gaga ini adalah orang paling kreatif saat ini. Dan tentu saja Keluarga Indonesia sama sekali tidak melihatnya.

yang dilihat ya yang kasat mata itu aja. Bajunya yang aneh-aneh ( la memang mbak gaga itu dari desa sebelah ) yang konon menjunjung tinggi demokratisasi.

Weee- laa.. satu RT ini sudah mbisikin keluarga Indonesia, mbok ya o ditinjau kembali itu tuduhannya.. tapi ya itu tadi, dasar Indonesia ndablek.

Wis, opo meneh ki sing meh dirasani dari keluarga Indonesia.

Satu RT ini pastinya hanya khawatir, bahwa nanti keluarga Indonesia ini tidak akan maju-maju. La gimana mau maju, diajak disiplin aja susahnya setengah mati.

habis itu judgemental banget. Sukanya melarang-larang. Wah……

Sore itu aku tidak tahan lagi duduk di arisan Ibu-Ibu RT bulanan. Gimana mau tahan, pembicaraannya cuman ngrasani Indonesiaaaaa waeee…

Tapi menurutku sih fair enough. La itu tadi, Keluarga Indonesia memang ndablekkk dan gak bisa diajak diskusi, diajak sharing.

La too. belum aku beranjak pergi, yang mau ngrasani dateng lagi, wah… tambah akeh.

Nerve-Shredding, You and Football!

Standar

Sebuah skenario dramatis, tertoreh sudah.

Detik-detik terakhir yang mendebarkan. Jutaan penggemar yang berharap keajaiban di setiap pertandingan, aku termasuk salah satunya .

Kami percaya bahwa Bola itu bundar. Bahwa semua bisa berubah dalam hitungan menit, dalam hitungan detik. Damn, and it’s true…

Diberkatilah Manchester City musim ini.

We Won! We Won! We Clearly deserve it.. the best ending of the best season of all time…Most dramatic football moment i’ve ever experienced so far, truly beyond description. And am happy to be part of it.. of my dear God!

Sepakbola, sudah mendarah daging sejak kecil. Dari sejak kecil aku menggilai bola seperti seorang perempuan menggilai boneka.

Aku menonton setiap pertandingan, aku membaca setiap berita, menghafal semua nama, menangis sesegukan dengan kekalahan dan menjerit sekerasnya di setiap gol yang tercipta.

Perayaan kemenangan pertama adalah ketika aku berusia 8 tahun. Melihat Marco V. Basten dan Ruud Gullit memenangkan Belanda untuk Piala Eropa tahun 1988. 2 tahun kemudian, aku menangis sesegukan, 2 kali berturut-turut setelah Italia dikalahkan adu penalti si semifinal dan Argentina yang diseruduk tim panser Jerman di final 1-0.

Tahun 90 itu juga menjadi tolak ukur dan kecintaanku pada sepakbola. Pada umur 10 tahun ini aku yakin, bahwa Bola, sepakbola bisa membuat hidupku menjadi berbeda.

Argentina, Italia dan Manchester City

Argentina, tentu saja karena aku begitu banyak membaca tentang bagaimana Maradona melewati 6 orang untuk membuat satu gol dramatis ketika melawan Inggris di Piala Dunia 1986, dan dengan gol ‘tangan Tuhan’ nya.

Menyaksikan sendiri bagaimana Maradona bermain di Italia tahun 90, namun juga melihat pahitnya kalah di Final. Aku ingat malam dinihari itu, dimana aku harus ngumpet di belakang kursi bila Jerman mulai menyerang.

Dan benar, Andreas Brehme yang namanya kemudian dikenang menjadi penyaring gol tunggal ke gawang Sergio Goyc0chea. Aku menangis hingga esok paginya, sementara Papaku yang fans berat Jerman tertawa-tawa…..

Semenjak itu, aku selalu mengawal baik kekalahan dan kemenangan Argentina.

Italia.

Italia, sesungguhnya saja jelas dimulai dari kekaguman pemainnya yang terlalu ganteng untuk berkeringat. Dari tahun 90-an yaitu Roberto Baggio, Paolo Maldini, hingga Alexandro del Piero. Juventus, sebuah klub di Italia juga yang kemudian membuatku duduk hingga larut malam ketika musim liga tiba. Apalagi kala itu sebuah statiun TV Swasta menayangkannya secara langsung.

Ngefans dengan Italia ini adalah kekaguman yang harus dibayar mahal, karena seperti yang pernah kutuliskan dalam sebuah situs pertemanan.

Ibarat Laki-laki, Italia itu sudah sering mutusin, tapi aku tetap cintaaaaa…..

begitu seringnya aku dikecewakan, namun tetap saja aku merasa bahwa aku bisa mengandalkan Italia, dan suatu saat nanti aku akan merasakan kebahagiaan ketika mereka mengangkat sebuah piala kemenangan.

Mimpi itu terwujud di Piala Dunia 2006. Setelah seingatku terseok-seok di awal kompetisi, akhirnya Fabio Cannavaro, sang kapten kala itu mengangkat Piala disaksikan ribuan penggemar di seluruh dunia.

Aku?

Sujud syukur di sebuah ruangan di kantor tempatku bekerja. Menelepon papaku dan mengolok-olokknya dan tentu saja menangis terharu.

Ini sebuah pembalasan, setelah 4 tahun sebelumnya di 2002, aku menangis dan kalah taruhan mencuci pakaian temanku selama seminggu ketika Italia dikalahkan Korea Selatan di perempat final.

Manchester City

Berawal dari sebuah makan malam terasyik yang pernah kualami. Sebuah Bali bengong, sebuah percakapan yang tahu-tahu masuk ke dalam lingkarang sepakbola.

“I have passion with football, since 10 years old – I was deeply in love with football”

“O ya…?. And how old are you that time? 10?”

“mmmh.. mmm”

“Wow, quite young, what you remember at 10?”

“I remember so clear, when Jerman defeat Argentina in Final, am depressed.. that was my first deppresion about football”

“Hahahaah….. carry on” Mata birunya tak berhenti memandangku.

” Ok.. i have questions for you…who’s make the goal that time? do you remember?. I give you one shot – just one. and 10 second.. 9. 8. 7…”

Aku mencoba mengingatnya sekuat hati. Aih.. siapa laki-laki yang menyarangkan gol dan membuat semua orang Argentina putus asa? Ahhh….

“….Andreas Brehme…?” sejujurnya aku blank, namun sosok laki-laki yang membuatku bergairah kembali dalam hal bola ini mendorongku untuk mengingat banyak hal.

Dia menatapku tajam… “Very Impresive…”

— Pertanyaan demi pertanyaan kemudian terlontarkan, malam itu seperti kuis sepakbola, dan aku bisa menjawab semua nama yang ia ajukan, semua kejadian yang ia lontarkan.

“Do you know Manchester City?”

“Ya… what’s wrong with them? FYI I don’t like the rags, so… ” Tiba-tiba aku nyeletuk tak keruan

“Perfect ! so you have to support the citizen from now on!”

“Why..?”

“Coz am from Manchester, and am with Manchester City!”

Dan makan malam itu berakhir setelah banyak pertanyaan dan nostalgia sepakbola ala kita berdua kehabisan waktu. Dia harus kembali ke hotelnya yang satu setengah jam lamanya dari restoran tempat kita makan untuk kembali pulang ke tempat ia tinggal.

Esoknya, sebuah pesan masuk.

“Sergio Goycochea right? Argentina goal keeper in 90’s ?”

Haahahah… Pria ini sangat aneh, alih-alih mengucapkan selamat tinggal, dia malah mengirimkan jawaban dari pertanyaanku semalam.

Belum selesai aku tersenyum, telepon berbunyi.

“You know what sweetie, like I said lastnight, from now on you have to be with me on Manchester City! are you in?”

“Yes..”

“Ok, talk soon… I have to boarding..”

Itu bulan Oktober, disaat ia harus terbang pulang ke HK. Beberapa hari kemudian, sebuah pesan panjang masuk ketika City terlalu ‘berisik’ dalam pertandingan derby terbesar Abad ini di Old Trafford.

City menang 6-1 , hampir 15 email terkirim malam itu, dan sebuah email panjang masuk 2 hari setelahnya.

Kamu, yang baru pulang dari Singapura untuk sebuah festival bilang bahwa kau melihatnya di sebuah Bar – dashed from the festival, and read my explotion email the night after. Dari situ, hampir semua email yang masuk adalah tentang sepakbola. Kita, sama-sama menemukan hal yang lama hilang.

Kecintaan kita terhadap sepakbola.

Sampai kemaren pagi, setelah hampir 5 hari kau tidak terdengar beritanya, dan sebuah email masuk. And you said hi, from England! I said, somehow, i just knew that you’ll coming back for this.

Dan iya, akhirnya semalam kau menjadi saksi dari ribuan penonton yang hampir mati rasa ketika ketinggalan 1-2 dari QPR , dan dalam 3 menit, 2 gol tercipta. Nerve shredding like you said.

Finally, City beat QPR 3-2. Wow…. race the title after 44 years.

Amazing, absolutely amazing.

City, you clearly deserve it

The best ending of the best season of the best league of all time!

Who wins …? City, You and Me!

— Akhirnya setelah 22 tahun mencintai sepakbola, aku merasa utuh mencintai olahraga ini..

Robert Mancini sang manajer yang berasal dari Italia, mengalungkan bendera Merah, Putih dan Hijau ini di lehernya ketika menerima Piala.

Sergio Kun Aguero yang  juga adalah ‘menantu’ Maradona tentu saja berasal dari Argentina.

Dan Manchester City yang layak menjadi juara musim ini, adalah tempat dimana aku berlabuh setelah sekian lama mencari. Mencari, dimana aku bisa melonjak-lonjak kegirangan, gelisah setengah mati, berdoa setiap malam, berjanji sesuatu bila City menang, dan…. tak henti-hentinya menonton detik detik terakhir dimana Aguero mencetak gol di injury time. Over and over again…

Lalu apa oleh-oleh untukku dari UK?

Sebuah kemenangan tentu saja sudah cukup.

—#

Travel To Nowhere day #3

Standar

Malam itu kami kelelahan. Melihat lumba-lumba dan berkendara kurang lebih 3 jam di mobil, berkeringat dan lapar. Tentu saja kemudian tidak bisa disalahkan bila setelah makan malam mata kami benar-benar tergantung dan menahan ingin tidur. Sangat. Namun kami masih saja bersemangat untuk ‘jalan’.

“Kita ke arah kota aja Win, ini kan malam minggu, pasti banyak anak muda nongkrong gitu. Aku penasaran aja seperti apa anak muda disini menghabiskan waktu.”

“Ya..yuk!”

Dan dilarikan lah kemudian city car sewaan itu ke arah kota. Berbekal peta buta dari seorang pegawai hotel dimana kita menumpang mandi.

“Ini dia Shin, ini Jl, Sudirman. Ini jalan paling besar, dimana-mana Jl. Sudirman adalah jalan paling besar di sebuah kota” Windy mencoba menyakinkanku.

“Ok.. mari kita telusuri saja jalan ini, siapa tahu diujung jalan ada cafe atau bar yang bisa kita datangi”

Namun semangat 45 yang tadi kita usung ternyata melempem di tengah jalan. Seiring tidak ditemukannya barang satupun hingar bingar kota dan keramaian anak muda. Kami tidak begitu suka berpesta, namun mengunjungi kota kecil membuat rasa ingin tahu kita menyembul dan butuh dipuaskan. Sayang, rasa kantuk ini lagi-lagi menang di medan pertempuran, bahkan sebelum bertanding.

Mobil bergerak pulang ke arah pantai Lovina, melesat tepat ke tempat parkir dan kemudian whopps. Mobil berhenti dan Windy berkata pelan.

“Good night Shin…”

Ah! itu kata kunci untuk segera menutup malam dengan tidur! Aku pun menyerah. “Selamat malam Win.. have a good sleep”

—*

Pukul 3 dini hari, mataku melek. Suara keras obrolan beberapa orang laki-laki membangunkanku. 10 menit kemudian, aku masih gelisah dan tidak bisa tidur kembali. Kulirik WIndy, dan dia tidur dengan pulasnya.

Damn, dia lebih tinggi daripada aku, tapi kok badannya muat aja masuk mobil ini dan asyik-asyik aja. Dasar nih anak…!!

Di tengah-tengah mencari jalan keluar dari kegelisahannku, aku mengingat bahwa aku membawa tendaku. Ah, kenapa tidak tidur saja di tenda. Toh, hanya buth 5 menit untuk memasangnya, dan kamu bisa tidur nyenyak, kaki selonjor dan tidur pulas.

OK! saatnya mengambil keputusan. 1, 2 ..

“Mau kemana lu nyet?”

“Aku mau tidur di tenda, sorry mbangunin, aku buka bagasi bentar dan habis itu lu bisa tidur lagi. Lu tidur di jok belakang aja njing…”

Aku dan Windy memang saling ledek dengan kata monyet dan anjing, bukan sakit hati yang diterima. Kita tertawa-tawa aja mendengarnya.

“Ok, terserah lu..”

Tidak lebih 15 menit kemudian, aku sudah berhasil memasang tenda imut itu dan aku bisa tidur dengan pulas.

—-#

“Wuihh.. ada orangnya nok..pules gen..”

Suara-suara ribut itu membangunkanku…Rupanya matahari sudah lumayan tinggi dan aku yang keenakan tidur di tenda dengan polosnya menarik selimut dan tidur lagi. Sebodo amat dengan orang-orang ini. Aku masih ingin melanjutkan tidur.

“Guk guk gukkk…. ”

Suara itu keras sekali dan mengendus-endus pinggir tendaku, dan kakiku yang pasti. Maaf bila perlu kusebutkan detail tenda ini pada Anda, ini penting.

Tenda ini adalah kebanggaanku. Tenda yang kudapat dari team BBC – ketika aku shooting dengan mereka tahun lalu. Konon tenda ini adalah tenda untuk para tentara Amerika di Afghanistan, jadi memang hanya muat untuk satu orang dan cepat sekali memasangnya. Duh, tanya saja teman-temanku, sudah berapa banyak orang yang kupameri tenda ini. Hampir semua temanku.

Iya, ini tenda dari BBC …. selayaknya darimana tenda ini berasal adalah sangat penting untuk disebutkan.

Pagi itu menjadi pagi yang sangat refreshing, WIndy dan aku menikmati sekali pagi di lovina, dengan cara kita masing-masing. Kita pasangan yang cocok dalam hal ini, kita seperti mempunyai jalan setapak sendiri – namun kami berjalan bersama. Kami sama-sama berjalan dalam satu perjalanan. Mengasyikkan.

Selesai dengan ‘pesta’ di pagi hari itu, kita kemudian melanjutkan perjalanan. Setelah sempat menumpang mandi lagi di hotel terdekat, lagi-lagi si Satpam Hotel berhasil mempengaruhi kita, kali ini Windy yang terpengaruh.

“Katanya di sini ada Bali Age Shin, namanya Tiga Wangsa. Deket sekali kok, yukkk.. kesana!”

Begitulah, judulnya saja travel to nowhere… Kita memang berjalan tanpa tujuan, dan mencoba membaca tanda-tanda di sela-selanya. Petunjuk satpam ini adalah satu diantaranya.

“Kamu tau dari Satpam?”

“Iya”

“Kamu yakin?” Mataku mencoba meyakinkan bahwa kita harus tetap mengejar waktu ke Trunyan dan Desa Pengotan Bangli.

“Iya, yakin” matanya berbinar-binar.

Dan benar, mobil kemudian dilarikan ke arah Tiga Wangsa tadi, anehnya, setelah kita salah arah dan kemudian putar balik, malah justru kemudian aku yang melihat sign itu.

“Tiga Wangsa WIn! ” belok kanan.

“Nah, itu berarti kita diijinkan untuk jalan Shin…” Kata WIndy menang sambil tertawa-tawa.

Haaaa… tapi sayang, kita memang berhasil mencapai Desa Tiga Wangsa yang jauh nun di atas bukit, dari sana pula kita bisa melihat kota Singaraja dengan jelas. Namun kita tidak berhasil menemukan keaslian desa di Bali. Bali Age yang memang menjadi tema perjalanan tak bertujuan ini.

“Ok, setidaknya kita tau, mana yang namanya Desa Tiga Wangsa” Windy mencoba mencari pembelaan

“Benar…”

Aku berhasil menjepret sebuah jalan manis nan imut, dengan penduduknya yang ramah. Dan beberapa pasang ekor ayam yang terlihat sangat jantan dan kuat di’pajang’ di pinggir jalan. Mmm… sounds familiar …

__ gambar

Ternyata, foto ini kemudian menjadi petunjuk kita selanjutnya. Tepat sebelum kita meninggalkan Singaraja, di pinggir jalan, kita menemukan Tajen. Sebuah … budaya? Sebuah permainan di Bali yang bisa dikatakan ilegal, namun masih saja dimainkan di beberapa daerah. Singaraja ini salah satunya.

Kami yang tahu bahwa ini ilegal awalnya agak ragu-ragu untuk berhenti dan mengambil gambar, tapi kami toh tidak dalam rangka bekerja. Maksudku, it’s nothing to lose, misal mereka tidak mengijinkan pun, kita tidak akan rugi apapun.

Maka berhentilah kita dan masuk ke arena permainan yang dihadiri hampir seluruh laki-laki sekampung. tentu saja modal kami hanya sebuah senyum manis dan kepolosan kami. Pura-pura tidak tahu bahwa ini dilarang, dan berlagak turis kesasar yang butuh hiburan.

“Boleh difoto ya Pak?”

“Boleh- boleh.. silahkannn….” Sebuah suara mengiyakan seraya memperlihatkan senyum dengan giginya dengan sangat percaya diri.

“Ayo, foto lagi, foto lagi..” Yang lainnya tidak mau kalah.

Aku dan Windy mencoba untuk tidak bersama dan mengumpulkan gambar sebanyak mungkin. Ini langka dan tidak banyak orang mendapat akses untuk masuk. Maka kami memerankan peran kita masing-masing. Diam dan hanya bergerak memecet kamera, mengambil moment sebaik mungkin. Sebelum ada yang sadar, dan berteriak …

“Stop Mbak…!!!. Stop, sudah ya, jangan. ”

“Sudah cukup ya, dari tadi sudah ambil gambar”

–AH! Bahkan Tajen atau adu ayam itu pun belum dimulai! Bagaimana Ia bisa bilang ini sudah cukup?”

“Ok Pak…!!” Aku menjawab penuh tipu muslihat.

Beruntungnya, yang lainnya berteriak. “Gak papa Mbak, sini-sini, foto dari sini saja …!”

Mendengar ada ajakan yang lebih menggiurkan, aku tersenyum dan berjalan kearahnya.

Dan begitulah, kira-kira setelah kurang lebih 20 menit disana, mendapatkan dengan rasa bersalah, ayam-ayam itu diadu. Dan orang-orang yang berteriak entah apa di sekelilingnya, kami memutuskan untuk pergi. Setelah saling mengangguk, kami pun pergi.

Orang-orang memandang dengan aneh, seperti kami ini mahluk luar angkasa yang datang dan pergi begitu saja.

Kami mendapat dokumentasi, foto dan video. Kami tidak hanya datang dan pergi begitu saja.

 

 

Hidup atas nama Ide & Kreatifitas…

Standar

Entah ini bisa disebut perayaan atau apa, yang jelas, aku seperti ingin sekali menuliskan sesuatu untuk sesuatu.

Semalam, adikku memenangkan sebuah Kompetisi Film Pendek Ibukota. Dia memang sudah beberapa kali memenangkan sesuatu berkaitan dengan film, penyutradaraan dan penulisan script, namun entah kenapa ini adalah yang membuatku ‘happening’. Awalnya aku hanya menuliskan sebuah text pendek, Hebattttt, namun kemudian siang ini aku ‘mencarinya’ kemana-mana, menelponnya dan ngobrol banyak.

Terharu, mungkin itu lebih tepat.

Aku seperti seorang tua yang mempunyai anak puluhan tahun, bekerja keras untuknya, mendidiknya, dan kemudian hari ini adalah hari kelulusan baginya. Memakai toga dan mendapat sertifikat kelulusan. Sungguh tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Mungkin bila dilihat dari sudut pandang orang lain, hal ini sangat biasa. Namun bagiku ini adalah titik dimana aku merasa bahwa usahaku tidak sia-sia. Bahwa semua hal yang kulakukan demi dia, disadari atau tidak adalah luar biasa berharga dan worth it. Malam kemaren, adalah buktinya. Bukti nyata sebuah perjuangan, bukti nyata sebuah impian.

—*

Awalnya adalah sekitar 13 tahun yang lalu.

Mmhhh, kala itu aku baru saja menonton film Dead Poets Society. Aku pulang ke rumah dan ingat betul apa yang kemudian kutularkan padanya.

“Ini bagus bangettt dek, kamu musti nonton! * kala itu kami melihat promo filmnya di RCTI, dan ditayangkan jam 11 malam kala itu.

Kami menunggu hingga selarut itu dan menontonya hingga pukul 1 pagi dini hari. Di Akhir 90-an, jam 11 adalah sangat malam, dan menonton film dengan penggalan iklan yang bertubi-tubi adalah sangat lama. Belum lagi, kami menontonnya di TV Mbah kami di sebelah rumah, semua orang sudah tidur dan hanya kami berdua yang masih ‘hidup’.

Adegan berikutnya sudah agak blur… aku tidak bisa mengingat pasti,film mana lagi yang kucekoki ke dia. Yang pasti, tidak banyak referens dariku, karena kemudian dialah yang banyak belajar sendiri dan membuat aku tercengang.Dalam beberapa tahun kita tidak serumah, karena aku kuliah dan kami berbeda kota. Namun ketika kami bertemu, banyak sekali yang bisa perbincangkan.

Film , jelas salah satunya.

Dia kemudian jadi penggemar berat genre ini dan aku dibuat terpesona ketika dia menyebut banyak nama di belakang layar. Aku yang masih hanya terbatas menjadi konsumen murahan film, dalam arti hanya menonton dan tahu siapa aktris dan aktornya. Bobby, begitu dia kami panggil dari kecil, memahami hingga ke akar-akarnya, siapa sutradaranya, apakah ini cerita adapatasi atau bukan. Apakah artisnya memang benar capable untuk bermain dalam film ini, dan lain sebagainya. Berbagai hal yang bahkan aku sama sekali tidak mengerti. Well, kadang-kadang aku bahkan mengerti dari dia.

Dunia bergerak, hingga dia memutuskan untuk masuk ke fakultas Film di sebuah Universitas.

Dari situ, kami berbeda kota lagi, namun setiap dia mengunjungiku di Ibukota, jam 2-3 suaranya masih menggema di kamarku.

“Aku punya ide mbak..” Kata itu adalah kata yang paling sering dia katakan padaku.

Aku selalu menanggapinya dengan positif. namun dunia kerja dan realita menyeretku begitu keras sehingga aku hanya menanggapi secara basa- basi saja dan masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri.

Aku hidup atas nama realita dan atas nama kehidupan. Dia hidup atas nama ide dan atas nama kreatifitas.

Dia tumbuh sangat cepat, dan aku senang sekali bisa menjadi bagian dari hidupnya. Diakui atau tidak, dan kau harus mengakui dek.. *hahaha..

Hingga tadi siang, kudengar suara di ujung telepon.

“Iya – aku menang kompetisi untuk Best Film dan Film Favorit Mbak..perjalanan masih panjang..”

“Banyak wartawan mengerubuti, dan aku tidak menyangka, sama sekali”

… aku memang perempuan melankolis, ada rasa yang tidak bisa diungkapan di hati.

Aku tahu kamu mempunyai pilihan hidupmu … dan ini adalah awal yang baik!

Aku tentu saja akan tetap butuh referensi film darimu seperti biasanya. Seperti, film apa yang sekarang sedang bagus, synopsisnya, artisnya, budgetnya dan segala hal yang kuabaikan selama ini. Terus berkarya dek, hanya itu yang bisa kita lakukan bukan? tiada lain dan tiada bukan….

 

 

Travel to Nowhere #day2

Standar

Di setiap perjalanan, kita musti siap dengan banyak hal. Perjalanan, disiapkan sedemikian rupa pun, tetap akan mendapatkan kejutan-kejutan kecil  dan kita mau tidak mau harus menghadapinya. Tapi ini justru bagian terasyik dalam sebuah perjalanan. Ups, tidak hanya perjalanan harafiah dengan kendaraan dan sebuah tas besar menuju ke tempat tertentu.

Hidup itu sendiri adalah sebuah perjalanan, dan betapa kita harus pintar menghadapi segala sesuatu. Kejutan-kejutan yang saya sebutkan tadi.

Melanjutkan perjalanan entah kemana minggu kemarin itu, pagi itu kami mengarah ke timur Bali, menuju satu desa Bali Age bernama Tenganan, yang ternyata tidak begitu jauh dari tempat kami malam tadi, hanya bekisar 15 menit dan kemudian kita sudah sampai.

Kami, langsung disuguhi sebuah desa yang tidak banyak akan Anda temukan di banyak tempat sekarang. Para Laki-laki bertelanjang dada dan perempuannya memakai kemben untuk sehari-hari. Bahkan konon kemben untuk wanita yang perawan ( belum menikah) dan yang sudah menikah pun dibedakan. Dari kemben ini kita bisa tahu apakah perempuan ini sudah menikah atau belum.

Tidak banyak yang bisa diceritakan disini, karena kami lebih seperti turis yang berkunjung. Ada upacara yang akan berlangsung, namun sepertinya kita tidak akan sempat melihatnya karena ada beberapa hal yang harus dilakukan for the rest of the day.

Disini, dalam sebuah perjalanan dituntut banyak hal, termasuk estimasi waktu …

Apalagi kalau gaya ber-perjalanannya adalah travel to nowhere ini yang praktis, tujuan selanjutnya kita tentukan di lokasi terakhir. Bayangkan, betapa penuh kejutannya perjalanan ini.

—*

Desa Tenganan terkenal dengan kain ikatnya ( namun mahal sekali ) cenderamata menulis di lontar, senyum anak-anak kecil yang berlarian kesana kemari. Kami pastinya berfoto ria dan terpingkal-pingkal dengan satu kejadian. Ha! hampir lupa menceritakannya..

Ketika sudah berkeliling desa, kita kemudian mendapatkan pura desa di paling ujung yang rindang nan asri. Sebuah pohon beringin menaungi… kami kemudian tanpa berpikir langsung rebahan di rumput hijau itu.

Windy, teman seperjuangan kali ini menceritakan rencana dua bulan ke depan.

Bla bla bla…

Aku mendengarkan dengan seksama dan juga tidak memperhatikan sekeliling. Posisi kami adalah tidur terlentang – tanpa melihat kanan dan kiri. Hingga pada satu titik, Windy menyadari bahwa ada sesuatu yang besar datang. Guess what! Seekor Kerbay besar, hanya berjarak 50 cm dari tempat Windy merebahkan tubuhnya. Kami yang kemudian refleks kebelakang sontak saja berdiri, meski kita tidak langsung berlari.

Windy meninggalkan tas dan sendal jepitnya.

Aku memaksa memotret dengan kamera yang miring. Dan kami terpingkal – pingkal 5 menit kemudian…

Gambar diatas hasil jepretan dalam kondisi terburu-buru, karena aku pun sudah bersiap-siap bila ia datang menyeruduk.. hahaha.. so fun!

—*

Setelah itu tidak banyak.

Baracuda 75o gram yang berhasil masuk di perut.
Perjalanan mengitari Utara  Bali yang mempesona, pantai di kanan jalan dan sawah terasering di kiri kita, menakjubkan dan luar biasa. Kami kadang-kadang bertengkar hanya karena ingin berhenti lagi dan lagi.

“Nanti kalau ada spot bagus berhenti ya Win” mintaku polos

“Jangan bilang kalau ada, tapi bilang saja, Win – tolong berhenti di depan.” Jawaban ketus dan tegas dari perempuan berambut cekak itu.

Ahhh… perjalanan ini sungguh semakin seksi, setelah 3 jam kemudian kita berhasil sampai di Lovina Singaraja, dan ajakan melihat lumba-lumba di senja hari menjadi godaan terbesar sore itu.

“Ayo… ambil gak?”

“Ya udah, ambil aja, toh cerah sekali sore ini”

Dan memang benar, cerah sekali sore itu, sunsetnya bahkan sudah sombong mengenalkan warna jingganya ke kita berdua. Kapal nelayan kecil yang sedianya menjadi transport kita ke tengah laut pun kemudian bergerak manja dan pelan namun pasti menuju ke arah matahari terbenam.

20 menit dari sana, kita disuguhi pemandangan yang luar biasa.

Meski tidak terlalu dekat, namun kita bisa melihat sekumpulan lumba-lumba yang sedang bersenang-senang di sore hari. Dan kami SAMA SEKALI tidak bicara, kami sibuk memotret sekaligus menikmati, betapa senja dan lumba-lumba ini adalah pasangan serasi yang muncul di tengah travel to nowhere kita hari ini.

Perfect!

Sempurna.

Keheningan sewaktu perahu itu dibawa kembali oleh Nelayan ke pantai juga menjadi meditasi kita berdua. Diam dan menikmati lovina yang menyambut kita dengan sumingrah sore itu

I don’t mind getting wet …

Standar

” Can you picture how drop-dead gorgeous this city is in the rain?
Imagine this town in the twenties. Paris in the twenties, in the rain.
The artist and writers …”

” why does every city have to be in the rain?, what’s wonderful about getting wet?

Kalimat percakapan ini memulai film ini. Midgnight in Paris.

Beberapa minggu lalu, ketika hunting DVD di sebuah toko, aku mengabaikan saja judul film ini, karena aku menanggap bahwa ini hanya film komedi romantis – bermodalkan Paris dan segala keromantisannya. Sampai pada suatu hari aku membaca synopsisnya dari seorang di FB. Dan aku langsung tertarik, aku beli, aku sisihkan waktu untuk menontonnya, dan malam ini kemudian berpihak padaku.

Malam ini dengan suksesnya aku kencan dengan Woody Allen, sutradara dan penulis besar. And I love it, very much!

Ok, kembali ke Kalimat tadi. Percakapan sepasang kekasih yang diperankan oleh Owen Wilson dan Rachel McAdams, yang memulai perjalanan panjang film berdurasi 120 menit ini.

To be honest… harus aku bilang bahwa aku benci pasangan seperti ini. Yang laki-laki adalah seorang penulis, yang ingin menikmati Paris dengan imajinasinya, sang perempuan juga sebenaranya tidak salah, dia menikmati Paris juga dalam perspektifnya. Fashion dan belanja.

Yang salah adalah, kenapa laki-laki ini bisa jatuh cinta dengan perempuan ini. Perempuan yang tidak mencintai hujan, yang tidak menyukai berjalan dalam hujan, basah. What is so interesting with getting wet? I mean, i do appreciate each other point of view. But…

Ah! that’s phrase is so insulting to me…!!!

I do ridicolous loves rain, everything that related with rain, walk on the rain, sound of rain is highly sensual. Mainly, everything that involved rain. Sehingga, bagaimana bisa seorang penulis cerdas bisa jatuh cinta pada perempuan ( yang saya anggap) silly seperti ini. Banyak sekali adegan yang memang disengaja membuat perempuan ini tampak menyebalkan para penonton ( khususnya saya!)

Bagaimana ia menyuruh diam kekasihnya yang sedang bicara, dan membiarkan teman laki-lakinya menguasai pembicaraan.Bagaimana ia mengabaikan ajakan tunangannya untuk berjalan di dalam hujan di Paris! Bagaimana ia tidak mau mendengarkan kekasihnya bicara dari hati ke hati. Bahkan di satu adegan ia mengatakan.

” You’re in love with Fantasy! “

Madam, you’re not gonna live if you don’t have fantasy! I mean it…

Percekcokan berlanjut, ketika mereka bertemu dengan teman sesama Amerika di Paris. Dan ini salah satunya, ketika mereka membicarakan tentang karakter dari tokoh di Novel yang sedang Gil Pender, si tokoh utama tuliskan.

” He works in a nostalgia shop ”
” whats that? ”
” Not one of those stores where they sell shirley temple dolls and old radios? ”
” I never know who buys that stuff, who’d want it? ”
” well, people who live in the past… “
* sambil melirik calon suaminya dengan ekspresi menggelikan, bahwa itu adalah konyol.

” People who think that their lives would be happier if they lived in an earlier time..”

No offense, I DO.

Seperti yang Gil Pender bilang, bahwa ia merasa ia terlambat lahir.

Aku, konyolnya, merasakan hal yang sama. Aku selalu bermimpi lahir di tahun 1900, entah dorongan apa. Am dying to sit and have tea with Kartini dan melihat Pram lewat di depan rumah di sebuah sore…

Anyway, lanjut dengan film besutan Woody Allen ini, Paris dikemas dengan sangat sederhana, namun menggemaskan. Sungguh, siapa yang tidak jatuh cinta dengan Paris in twenties. Maka, ketika pagi hingga sore Gil disibukkan dengan kesibukan calon istri dan calon mertua ‘menikmati’ Paris. Malam hari, setelah jam 12 malam kamu akan terkejut. Terkejut bila kamu bisa minum wine dengan Ernest Hemingway, bertemu F.Scoot Fitzgerald dan istrinya Zelda, Pablo Picasso, TS Eliot dan bahkan Salvadore Dali. Ya, si tokoh utama, magically masuk ke dalam Paris di era tahun 1920-an dan bertemu nama-nama besar yang telah saya sebutkan di atas.
God! I know nothing about them, until i watched this film. Aku kemudian googling dan membaca tentang mereka. Well, some of them i know, tapi sejujurnya banyak nama-nama yang aku tidak tahu. Terimakasih Woody Allen.

Paul, si tokoh antagonis yang disebut-sebut oleh seorang guide sebagai ‘pedantic’ yang setelah aku google translate berarti : suka pamer keilmuan, sok tahu, memang benar adanya, seorang yang suka sekali pamer bahwa dia tahu segalanya, juga diberi sebuah line cerdas nan menyebalkan dari Woody Allen.

Nostalgia is a denial.
Denial of the painful present.

Oya…?

Mereka adalah orang-orang modern yang hidup dengan kekinian, mereka tidak mempunyai sisi melankoli dengan masa lalu. Sama sekali, mereka bahkan tidak mengijinkan pikiran mereka berimajinasi, hanya untuk sekedar memikirkan bagaimana bila mereka bertemu Hemingway di sebuah malam. Bagaimana bila Zelda Fitzgerald ‘nyamperin’ di sebuah pesta.

Ok, mari memakai contoh di Indonesia. Pernahkan kau mengijinkan imajinasimu untuk bertemu dengan katakan… Douwes Dekker…? Atau Ra-kuti…Menatap mata Kartini yang sedang menuliskan surat ke Abendanon, atau bahkan membantu Ktut Tantri di era perjuangan. Hayooooo….!!! Intinya, aku suka film ini. Film sederhana yang membuatku bercinta dengan imajinasi malam ini, yang membuat kita banyak belajar pada setiap tokohnya. Asyiknya lagi, aku dapat menebak akhir dari cerita ini, at least adegannya. Karena dari awal sudah menyinggung berat tentang hujan, aku yakin endingnya akan berhubungan dengan hujan.

Tertebak! 100%

Gil Pender yang kemudian merelakan Adriana ( diperankan apik oleh Marrion Cotilard) kekasih hati dari imajinasinya untuk kembali ke realita, kemudian bertemu wanita ini. Wanita yang dipertemukan oleh klasik, oleh masa lalu, oleh musik Cole Porter.

Magicnya! mereka bertemu dan Hujan tak kuasa menemani.

Sang wanita, menurut aja ketika di ajak berjalan dalam hujan…

” I don’t mind getting wet ” jawabnya… yang sudah bisa ditebak kemudian. Gil Pender yang sudah meninggalkan keluarga nan silly kekasihnya, asyik aja mendapatkan segala kebetulan-kebetulan di Paris yang akan menjadi kota dimana dia tinggal.

Rachel McAdams, yang juga sukses memainkan peran Inez, tunangan Owen Wilson, terpaksa dicat rambutnya menjadi pirang! untuk menambah bentuk … let say.. kebodohannya…?

Owen yang biasanya bermain komedi romantis pun akhirnya bisa dikatakan mampu membuat film ini bicara, meskipun aku berimajinasi seseorang yang lain yang memainkannya… like, James McAvoy…?

Atau Woody memilihnya karena Owen ini Amerika sekali…

Ok, apapun … terimakasih Bapak, Anda membuat saya berselancar jauh sekali malam ini. Sungguh mahal kencan kita ya hari ini…

Ups, hampir midnight.. in Ubud, not in Paris.

Who I’ll be meet tonight ?